Bab 16

1.2K 213 7
                                    

Niki tertegun saat melihat Edwin di depan pintu. Laki-laki berkacamata itu menatapnya tak kalah kaget, seolah sosok Niki adalah sejenis hantu yang menakutkan. Keduanya untuk sesaat saling pandang sebelum Niki yang tersadar, menyapa lebih dulu.

"Apa kabar, Kak?"

"Niki, ka-kamu di sini?"

"Iya, Kak. Mau masuk? Kak Neil lagi pergi, kalau mau nunggu di dalam aja."

"Kamu tinggal di sini dari kapan?"

"Bulan lalu."

Seperti kerbau dicocok hidungnya, Edwin mengikuti Niki ke ruang tamu dan bahkan tidak duduk di sana seperti yang biasa dilakukannya melainkan mengekor hingga ke teras samping. Niki menoleh heran saat menyadari Edwin berada di belakangnya.

"Mau ngapain Kaka?"

Edwin meneguk ludah. "Niki, ka-kamu lagi ngapain sekarang?"

Niki menunjuk laptop yang terbuka di meja teras. "Nugas."

"Oh, aku temani kalau gitu. Nggak apa-apa'kan? Aku nggak akan ganggu, kok."

Sebenarnya Niki merasa enggan dan risih tapi tidak tega menolak. Akhirnya mengangguk kecil dan membiarkan Edwin duduk di depannya. Laki-laki itu bersikap sama dengan Aldo, hanya dengan versi lebih pendiam dan malu-malu. Duduk rapi dengan tangan terlipat di atas lutut, mencuri-curi pandang dan menahan senyum. Seolah setiap gerakan kecilnya takut membuat Niki marah.

Awalnya Niki berusaha mengabaikan tapi lama-kelamaan jengah juga. Ia tidak suka saat sedang mengerjakan sesuatu ada orang di sampingnya, mengawasi gerakannya sampai membuatnya kikuk. Samar-samar Niki mengingat bagaimana Edwin saat kecil dulu, sangat pendiam, jarang bicara, dan hanya duduk tidak bergerak dengan game di tangan. Kala itu memskipun mendengar Niki menangis atau bertengkar dengan Neil, Edwin tetap diam dan sama sekali tidak terganggu. Rupanya ada perbedaan sekarang, karena Edwin memilih menemaninya dari pada duduk di dalam dan sibuk dengan urusan masig-masing.

"Nggak mau minum, Kak?"

Menunjuk minuman Niki di atas meja, Edwin bertanya penuh minat. "Itu minuman apa?"

"Es kopi dalgona."

"Sepertinya enak."

"Memang, tadi aku bikin sendiri."

Edwin terbelalak. "Waah, kamu hebat Niki. Bisa bikin kopi dan kelihatannya segar."

"Kakak mau aku bikinin?"

"Mauuu, aku mau sekali," jawab Edwin cepat.

"Tunggu bentar."

Mengubah posisi duduk dan kini menghadap ke dapur, hati Edwin diliputi perasaan berbunga-bunga. Tidak menyangka akan meminum kopi buatan Niki. Ia sama sekali tidak menyangka kalau gadis berambut pirang itu ternyata tinggal di sini. Neil tidak pernah menyebutkan hal ini sebelumnya. Dipikir lagi memang sepupunya itu tidak pernah terbuka tentang apa pun dengannya. Edwin menyadari jarak yang tercipta antara dirinya dan Neil.

Berapa lama waktu berlalu dari terakhir kali bertemu Niki? Mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, Edwin tidak bisa mengingatnya. Gadis kecil yang berisik dan suka menangis itu kini berubah menjadi gadis cantik dan sexy. Tanpa sadar Edwin meraba dadanya yang berdebar saat melihat Niki datang dengan gelas tinggi berisi kopi.

"Ini, Kak. Minum selagi dingin. Di luar cuaca sangat panas."

Menerima segelas kopi dengan wajah semringah, Edwin memuji es kopi buatan Niki. Mengatakan dengan berapi-api kalau belum pernah minum es kopi seenak ini. Padahal di jalan tadi ia sudah membeli segelas kopi yang sekarang ada di mobil. Untung saja ia tidak membawa turun kopinya dengan begitu bisa merasakan minuman buatan Niki.

My DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang