Bab 18

1.2K 240 13
                                    

Lopika mengeluh, perutnya sakit karena seharian belum makan. Lalita mengerang di atas ranjang, bergulingan dan berkata sangat lemas. Kedunya berkeringat dingin karena dari kemarin malam hanya makan mi instan satu bungkus yang dibagi dua. Terbiasa makan dengan porsi besar, membuat keduanya tidak siap kalau harus lapar. Mirah hanya terdiam, menatap kedua anaknya. Ia sendiri sudah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan uang dan ternyata tidak mudah. Satu per satu perhiasan yang selama ini dibeli dari uang sekolah Niki, sudah dijual untuk biaya kontrakan dan makanan sehari-hari. Dua bulan berlalu dari semenjak Niki pergi dan kini mereka tidak punya apa-apa lagi.

"Maaa, aku lapar!" teriak Lopika. "Mama jangan diam aja!"

"Memangnya mama bisa ciptain makanan?" jawab Mirah dengan geram. "Kalian nggak makan dulu, biar langsing!"

Lalita meraung. "Lopika bisa langsing karena dia badannya kayak kebo. Nah' akuu. Maa, badanku udah kurus. Yakali mau dikurusin lagi."

"Lo jangan bawa-bawa gue, bilang aja lo juga laper!" Lopika melotot lalu detik itu juga kembali mengerang lapar.

Mirah berdecak, menatap duan anak gadisnya yang manja. Setelah Niki pergi kini mulai terasa berat keadaan mereka. Selain tidak ada uang, juga tidak ada yang membereskan rumah. Kondisi rumah mereka kini nyaris menyerupai gudang bukan tempat tinggal. Sampah berserak, kotoran di mana-mana, dan sisa-sisa dari kerusuhan saat Neil kemari masih ada sampai sekarang. Tidak ada yang ingin merapikan barang-barang kembali ke tempatnya semula. Terlalu merepotkan untuk mereka melipat dan menaruh dalam lemari karena biasanya semua dikerjakan oleh Niki.

Mengingat tentang Niki dan Neil membuat Mirah marah. Ia merasa kalau keduanya bukan orang yang mengerti cara berterima kasih. Ia sudah membantu merawat Niki hingga sebesar sekarang. Mengasuh dengan baik meskipun bukan anak kandung. Harusnya uang 10 juta memang layak diterimanya, dan Niki bekerja keras untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, memang sudah semestinya dilakukan. Ia tidak mengerti kenapa orang-orang menyalahkannya dan Neil marah atas tindakannya.

"Papa kemana, Maaa? Masa udah lebih sebulan nggak pulang?" tanya Lalita.

Mirah menggeleng. "Nggak tahu, tadi mama udah ke pasar buat cari dia tapi nggak nemu. Entah masih hidup apa nggak. Bikin susah aja. Keadaan lagi gini malah ngilang. Kemarin-kemarin pas mama masih ada uang, papamu itu nggak kerja dan cuma ongkang-ongkang kaki saja. Sekarang kita lapar, malah dia nggak berguna."

Penyesalan merayapi hati Mirah tentang suaminya. Ia selalu membiarkan saja Benu tidak bekerja karena mereka punya uang. Tapi sekarang, ia berharap suaminya datang dan memberi uang untuk makan. Harapan palsu yang membuat Mirah mendesah kesal. Ia berencana untuk kembali ke pasar saat terdengar teriakan dari pintu yang membuat kaget.

"Miraaah, Lopikaa, Lalitaaa, di mana kalian? Papa bawa makanan!"

Suara Benu, tidak salah lagi. Laki-laki itu datang. Mirah bertukar pandang dengan dua anaknya dan mereka bergegas turun. Sesampainya di ruang tamu yang berantakan, Benu duduk sambil merokok, menunjuk bungkusan di atas meja,

"Nasi padang buat kalian. Pasti kalian lapar'kan? Lopika, jatah kamu dua bungkus, Nak."

"Papa keren!" Tanpa menunggu lama, Lopika melompat untuk membuka plastik, berebutan dengan Lalita yang juga ingin membukanya. Terjadi tarik menarik, sampai membut Mirah marah dan mengambil plastik dari mereka.

"Makan yang benar, jangan berebut!"

Mereka makan dengan lahap sementara Benu merokok terus menerus. Selesai makan, Lopika dan Lalita kembali ke atas sedangkan Mirah bertanya pada suaminya.

"Kemana aja lo? Gue cari ke pasar kaga ada."

Benu tersenyum. "Kerja. Lihat'kan hasilnya? Gue bisa bawa makanan buat kalian."

My DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang