Satu bulan berlalu. Sejak Audrey mengetahui hubungan spesial Arfan dan Sherina, gadis itu memilih untuk membuat tembok antara dirinya dan si kembar. Tak hanya itu, senyuman Audrey semakin luntur, gadis itu bahkan sudah jarang sekali menampilkan senyumannya secara tulus. Semua senyuman di hadapan umi dan abi hanya palsu, sekadar untuk menenangkan kedua orangtuanya.
Audrey kini disibukkan dengan berbagai persiapan pentas seni yang semakin dekat, gadis itu juga mengambil beberapa pekerjaan tambahan. Bahkan, sabtu dan minggu yang seharusnya menjadi hari istirahat, juga ia gunakan untuk bekerja. Tak ada waktu istirahat apalagi bermain, dunia indah Audrey benar-benar hilang.
"Mi.. ini ada kiriman anonim lagi. Dari siapa ya?" tanya Audrey sembari membawa satu paket berukuran besar.
Umi menghampiri anak tengahnya itu, "coba buka, Drey," pinta umi pada Audrey. "Kayaknya sih isinya tetep, Mi," ujar Audrey sembari membuka paket tersebut.
Dan yaps benar, isinya masih sama. Ada barang-barang kebutuhan pokok, camilan kesukaan Aca, dan amplop tebal yang berisi beberapa lembar uang pecahan paling tinggi.
Umi menghela napas, ini bukanlah satu atau dua kali. Hampir setiap minggu keluarga Athallah mendapatkan paket misterius itu. "Yaudah taruh aja di gudang, nak. Umi nggak mau kita makan dari barang yang asal usulnya nggak jelas,"
Audrey mengangguk paham. Walaupun saat ini keluarganya sedang ada dalam ujian ekonomi, tapi umi tetap berpegang teguh pada prinsipnya.
"Kerjaan di hari minggu dilepas ya, nak? kamu harus punya waktu istirahat," perkataan umi menghentikan langkah Audrey.
"Tapi mi..-
"Nggak ada tapi-tapi ya Drey? Umi sama abi masih sanggup kok biayain kalian. Orderan kue buatan umi juga lagi banyak, insya'allah cukup untuk kebutuhan kita," potong umi saat Audrey hendak membantahnya.
Umi tau bahwa anak gadisnya itu sedang tidak baik-baik saja, senyuman yang dulu selalu terukir di wajah Audrey hilang tergantikan dengan kesedihan yang seakan tak pernah letih mengganggu Audrey.
Umi mendekati Audrey dan memeluk singkat anaknya, "kamu hebat Drey. Kamu bisa lakuin ini semua dalam satu waktu, umi bangga sama kamu,"
.
.Audrey menikmati malam minggu di tempat yang dulu menjadi saksi bisu gelak tawanya dan ketiga laki-laki yang ia sebut dengan 'prajurit Audrey'. Bayang-bayang kebersamaan itu masih teringat jelas, hingga beberapa kali Audrey tersenyum kala mengingat Revan menceritakan kencannya dengan Viona.
"Gue punya cerita," ucap Revan yang sudah siap dengan beribu ceritanya.
"Aelah males, pasti Piyank Piyank lagi," cibir Arfan yang sudah tau jelas bahwa adiknya itu akan menceritakan perihal kekasihnya yang ia sebut dengan Piyank, singkatan Piona cayank. Dasar alay memang.
"Skip dah, mending gue dengerin tetangga sebelah nyanyi," sahut Ansel yang tak memadamkan niat Revan.
Berbicara tentang tetangga sebelah, apakah dia penyanyi? Oh tidak! Lebih tepatnya tetangga sebelah adalah seseorang yang berambisi menjadi penyanyi tanpa sadar jika dirinya sudah ditolak beribu perusahaan rekaman. Ya, seburuk itulah cerita Revan bagi Ansel hingga ia membandingkan dengan suara tetangga sebelah yang katanya sudah tak bisa diselamatkan lagi.
Revan tentu saja tak menghiraukan ucapan Ansel dan Arfan, laki-laki itu kini malah duduk dan bersiap mengeluarkan kalimat-kalimatnya. "jadi.. gue tuh kem- akwgekszvhs
Belum sampai satu bait cerita Revan, Audrey sudah terlebih dahulu menyumpel mulut Revan dengan roti. Berisik katanya, gadis itu tak ambil pusing jika nantinya Revan akan marah, toh tindakannya ini didukung oleh dua abangnya yang lain.