Setelah hari kelulusan SMA dua bulan yang lalu, saya hanya menemukan sepi yang bebas. Saya bisa pergi kemana-pun di pagi hari tanpa harus dengan catatan bolos seperti dulu.
Pagi ini sarapan didepan rumah ditemani oleh kucing kesayangan Nadira sepupu saya yang sedang keluar kota, jadi dia titipkan disini. Anak perempuan 4 tahun itu berkata dengan gemas “Kamu tinggal agak lama ya sama Kak Abi.. jangan nakal, minta aja jajan sama dia, dia baik kok nyenyo..” Anak itu sampai menangis tersedu-sedu saat dua hari yang lalu.
Hari ini saya ada janji, iya sama Sereia.
Dia minta diantarkan ke pasar buku bekas, entah kenapa akhir-akhir ini setelah pertemuan kami di pasar malam itu dia jadi banyak bicara ke saya. Saya kemarin kira mungkin setelah mengatakan itu dia akan canggung, nyatanya tidak atau jangan-jangan dia hanya bercanda?
Setelah makan saya bergegas mandi.
Sekitar pukul 10 pagi saya menancapkan gas motor untuk pergi kerumahnya yang berjarak satu kilometer dari rumah saya.
Saat sampai, saya menemukan Karin yang sedang menyapu halaman itu yang nampak sebagian sudah bersih.
Gadis SMA itu berlari masuk saat melihat saya dan motor yang saya kendarai berhenti tepat didepan pagar rumahnya yang terbuka.“Apa sih Rin??” Suara grasak-grusuk terdengar di bawa keluar oleh Karin dan Kakak perempuan-nya yang saya tunggu, Sereia.
“Sereia? Jadi kan?” Saya mengambil alih tatapan mereka berdua. Tadinya baru saja Karin akan di bilang lebay karna terlalu grasak-grusuk saat masuk memanggilnya.
Sereia hari ini cantik, sebenarnya perempuan itu selalu cantik. Tapi setelah lulus SMA dia bertambah lebih cantik daripada Sereia yang kami kenal dengan seragam putih-abu nya.
“Jadi kok.. pas banget aku mau keluar nungguin kamu” Ucapnya sambil berjalan membenarkan sepatu kain tanpa tapak hak itu.
“KAK!! NITIP GULALI YA!!” Karin berteriak saat Sereia baru saja sampai disebelah motor saya.
Sereia berbalik dan mungkin menghunuskan tatapan legendaris Kakak perempuan. Saya hanya tersenyum ke arah Karin yang malah memilih masuk saat saya menganggukkan kepala berusaha menyapanya.
“Si centil Karin masa bilangin kamu ganteng banget kayak bukan Kak Abiyaksa biasanya” Ujar Sereia saat saya menyodorkan helm untuk dia kenakan.
“Bilang aja malu dia belum mandi, iya kan?” Timbal saya sambil tertawa pelan.
“Iya tuh gitu haha” Lalu kami menertawakan gadis yang sedang pubertas itu.
Sepanjang perjalanan, kami hanya mengobrol sedikit-sedikit. Sereia terlihat menikmati kanan dan kiri jalan yang ramai oleh pedagang es dawet yang bersaing ketat. Saya hanya tersenyum melihat wajahnya yang selalu polos.
“Sereia, opini saya kalau gadis tanpa riasan itu cantiknya natural tapi kata Ibu-ibu itu berarti nggak punya modal. Benar?” Saya mengangkat obrolan yang biasa saja. Dia menoleh dan gantian melihat saya dari kaca spion saat saya memilih kembali fokus berkendara.
“Opini kamu sama Ibumu aja beda, apalagi sama Aku” Jawabnya. lalu apa? “Aku bukan yang cantik natural atau nggak punya modal. Oke.. aku juga belum punya uang buat beli make up untuk bersolek. Tapi aku lebih ke.. punya kulit sensitif hehe”
“Kalau kulit sensitif nggak bisa pakai?” Tanya saya pura-pura bodoh.
Dia menggelengkan kepala sedikit dan tersenyum membalas tatapan saya di kaca spion.Saya melihat kesederhanaan itu pada matanya yang indah.
Sereia mempunyai bulu mata yang panjang dan lentik, juga alis lebat yang nampak rapih bentukanya.
Tak lama kami sampai pada toko buku bekas itu dan saya membiarkan dia sibuk mencari apa yang dia mau.
Sekitar setengah jam, dia kembali dengan 2 buku yang nampak sedikit kusam yang sudah ia bayar tunai.
“Berapa bukunya?” Tanya saya saat dia kembali dengan sumringah.
“Dua cuma 50 ribu. Murah hehe” Ucap gadis itu mendongak sedikit untuk menatap saya. Saya mengeluarkan dompet hitam dari saku celana panjang yang saya kenakan dan mengeluarkan uang kertas dengan nominal yang dua buku itu miliki.
“Kenapa harus kamu yang bayar lagi? Ini udah aku bayar, kalo kamu mau banget keluar uang hari ini yaudah beliin aja Karin gulali” Perempuan itu mendorong perlahan uang yang saya sodorkan padanya.
“Karin bisa dibelikan nanti, ini simpan uangmu” Jawab saya tetap memilih gentar.
“Kok udah punya uang? Emang udah kerja?” Dia masih enggan mengambil kertas biru yang saya hendak berikan.
“Sudah kerja kecil-kecilan” Ucap saya tersenyum padanya yang masih menggeleng tidak mau. Saya menghela nafas dan memilih apa yang ia katakan tadi.
Tak lama kami bergegas pergi dan kembali ke jalanan ramai lagi. Kanan-kiri dipenuhi banyak pedagang makanan yang terlihat menggiurkan.
“Karin mau gulali, kamu mau apa?” Tanya saya dengan laju motor yang melambat. “Aku nggak usah” balas gadis itu dengan wajah cemberut yang di buat-buat.
“Kita makan lontong sayur gimana? Atau mau nasi campur?” Ucap saya menawarkan lagi. Dia hanya terdiam dan mengangguk sekali.
“Sereia, lain kali ikuti kata saya.”
—Perahu Kertas—
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu kertas [SHORT STORY]
RandomSebuah kisah yang saya tulis dengan kejujuran menyesal yang mendalam. Tidak sedalam sungai dimana perahu kertas kita layarkan, karna saya ikhlas begitu itu tertinggal di-2015. Abiyaksa