Dilain hari, kami berdua pergi ke pesta ulangtahun Nadira yang ke-lima. Sereia katanya ingin memakai warna senada dengan balon-balon indah yang terpajang rapih di ruang tamu rumah Nadira, bocah yang sedang ber-ulangtahun. Kemarin malam Sereia juga diajak untuk mendekor ruang tamu untuk acara siang ini jadilah begitu dia tau bagaimana tema dan warna acara ini.
Sederhana saja, Sereia mengenakan pakaian indah sepanjang selutut berwarna jingga yang sama mencoloknya dengan hiasan bunga matahari dimana-mana.
“Kak Eiya! Baju nya kakak cantik banget lho!” Nadira datang menghampiri dengan pakaian berwarna putih dengan banyak corak bunga matahari, tak ketinggalan jepit-jepit rambut senada menghiasi rambut indah bocah menggemaskan itu.
Sereia mengangguk tersenyum lebar dan berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Nadira. “Iya nih, kakak pakai baju yang kembar sama kamu” Sereia mencium pipi kanan Nadira yang tersenyum sangat bahagia.
Lalu bocah cilik itu pergi berlari kembali kedalam rumah tanpa aba-aba. Saya dan Sereia saling pandang dan kemudian tertawa kecil sambil berjalan masuk menyusul Nadira.
“Kakak! Kakak! Kak Abi! Gendong, up!” Bocah itu kembali datang dengan berlari dan menyorak ke arah saya untuk minta di gendong. Saya mengangkatnya tinggi-tinggi lalu membuatnya tertawa kencang. Sereia didepan kami hanya tersenyum dengan diam memperhatikan. “Kak Eiya, ini ada jepitnya” Nadira kemudian mengarahkan tangannya untuk memasangkan jepit yang sama dengan yang ia kenakan kepada rambut Sereia yang di ikat satu dengan longgar.
“Makin cantik!” Nadira mengatakan itu namun setelahnya sedikit cemberut. “Kenapa cemberut?” tanya saya padanya dalam gendongan. Lalu bocah itu bersembunyi di ceruk leher saya dan mengatakan pelan, “Kan yang ulangtahun aku, kok Kak Eiya yang cantik sekali?” lalu tawa saya lepas disusul oleh kebingungan gadis didepan saya yang sepertinya tidak mendengar begitu jelas.
“Nadira kalo gitu aja cengeng-an mending Kak Abi lempar ke kolam ikan piranha. Kak Sereia itu kan beda cantiknya sama kamu. Kamu gemas, Kak Eiya cuma sedikit.. Kamu cantik tapi.. Cantikan Kak Eiya lah!” lalu saya benar-benar tertawa lepas akibat pukulan bocah dengan jepit bunga matahari itu.
“Gemas itu lebih baik dari cantik ya!” Sereia tertawa kecil lalu ingin mengambil alih atensi Nadira yang masih menyembunyikan diri. “Bener?” tanya bocah itu menatap Sereia dengan tatapan lucunya. Sereia mengangguk dan menutup kedua mata gadis itu dengan satu telapak tangannya yang tercium wangi bunga.
“Satu.. dua.. tiga.. Ini hadiahnya! Suka nggak?” Sereia kemudian mengangkat tinggi-tinggi satu set dokter-dokter mainan yang saya belikan untuk Nadira dan satu lagi paper bag yang berisi baju piyama yang ia belikan sendiri.
“Kok Kakak tau aku mau ini?” Nadira antusias meminta turun dari gendongan agar ia lebih leluasa melihat hadiahnya yang tidak terbungkus. “Ini dari Kak Abi ya..” Sereia menunjukku dan Nadira kembali menatapku dengan berbinar.
“Kemarin pas di mall Kakak nggak mau beliin! Kok baru sekarang mau nya??” Gadis cilik itu bertanya-tanya tapi setelah tidak mendapat respon lebih dari saya, dia hanya bergegas pergi setelah mencium pipi kakak sepupunya ini.
“Dia salah tingkah itu” Ujar saya saat Sereia mengerjap kaget karna Nadira tiba-tiba kabur.
Acara pergi untuk menghabiskan satu jam dan kemudian semuanya bubar. Tapi saya dan Sereia memilih untuk mampir ke minimarket yang tak jauh dari rumah Nadira, katanya Sereia ingin ice cream.
“Nggak ngilu gigi kamu?” Pertanyaan saya lontarkan saat ia memilih langsung membuka bungkus ice cream stick yang sudah kami bayar.
“Enggak.. ini tuh.. eum..” ucapannya ragu. “Ngidam?” Saya lanjutkan perkataannya yang tertunda dan gadis itu hanya mengangguk samar.
Hanya butuh waktu sebentar untuk gadis di samping saya menghabiskan camilan dingin itu dan dia memilih beranjak dari banon tempat kami duduk.
Diperjalanan menuju rumahnya untuk pulang banyak sekali obrolan yang dapat kami bahas. Semenyenangkan itu memang berbincang dengan dirinya yang mempunyai banyak pertanyaan dan juga jawaban. “Kenapa langit di atas sana berwarna biru, Ya?” Tanya saya padanya yang diam-diam mendekatkan wajahnya pada leher saya. “Itu karna efek kuantum yang melibatkan Rayleigh yang dikombinasikan dengan kurangnya warna violet photon resepter pada mata retina kita,” Saya hanya terdiam yang membuatnya menunggu reaksi.
“Ngerti enggak kamu?” Tanya gadis di belakang saya, “Enggak sama sekali” Kedikan bahu saya pasti membuatnya merasa jengkel, namun setelahnya tawa gadis jelita itu mengudara.
“Kamu punya kecerdasan naturalis” Ujar saya tertuju untuk gadis yang mengenakan sandang berwarna jingga tersebut. “Aku? enggak juga sih.. Kamu tuh, kecerdasan interpersonal kan?” Jawabnya yang mengarahkan tatapan pada kaca spion.
“Sepayah itu aku?” Saya mendengus sedikit sebal ke arahnya dan dia hanya tersenyum. “Memahami diri sendiri itu bagus, Abi. Lagian kamu memang punya jiwa yang tenang, bener nggak?” Saya rasanya hanya ingin tertawa keras-keras karna penuturannya tentang saya. Ternyata memang benar saya terlanjur memilih untuk menjadi palsu selama ini, bahkan Saya tau jika diri sendiri sangat brengsek. Kamu hanya korban saya Sereia, maaf.
Kami sampai dan ia segera turun dengan hati-hati berpijak. “Ada yang sakit?” Tanya saya padanya yang tak bosan tersenyum tapi ia hanya menggeleng. “Kita bakalan kemana besok?” Gadis itu bertanya hal lain dan saya masih terdiam untuk berfikir. “Sungai?” Tanya saya memastikan apakah gadis itu setuju dan dia hanya antusias mengagguk. “Lagipula Bi.. aku punya rencana buat kerja” Gadis ini sukses membuat saya menatapnya tak suka. “Kerja apa? Dimana?” Saya melayangkan tatapan tak suka ke arahnya yang berhasil membuat ia ciut.
“Aku dapat tawaran jadi SPG di Taman Remaja yang di daerah Tambaksari” Ucapnya sedikit ragu menatap saya yang masih duduk diatas motor. Saya menghela napas berat dan menggelengkan kepala untuk menetralisir emosi yang tak karuan. “SPG? Di Tambaksari? Punya otak nggak? Kondisi kamu mau dilupain gitu aja? Setidaknya paham lah, Sereia. Jangan terus-terusan buat aku marah-
“Tapi ini biar aku punya tabungan!” Sereia berkata dengan nada sedikit meninggi membuat ucapan marah-marah saya terpotong. Lagi-lagi saya mengeraskan rahang untuk menetralisir ucapan kasar yang siap keluar dihadapan gadis yang saya sayangi ini. “Itu bukan tempat seharusnya buat kamu. Kamu itu tuan putri, nggak perlu pergi untuk kerja-
“Kamu bisa ngejamin apa kalau setelah Papa Mama tau aku hamil, aku nggak bakal diusir dari rumah ini?!” Dia kembali menatap saya sengit dengan matanya yang sendu tak karuan. “Berhenti bahas ini Sereia, aku muak.” Lalu kami saling membuang muka.
Selain bekerja bukan hal yang seharusnya dia lakukan, begitu juga dengan terjebak bersama saya didalam masalah yang saya sendiri ragu dengan cara bagaimana mengatasinya ini adalah bukan tempat Sereia yang indah seharusnya berada.
Saya memilih mengelus sebelah pipi kanan nya sebelum pergi meninggalkannya tanpa kata didepan pagar rumah itu. Perasaan tak karuan selalu menghantui yang pasti akan membuat tubuh saya meriang semalaman karna di ajak berfikir dengan keras.
Sayang, Sereia maaf.
—Perahu Kertas—
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu kertas [SHORT STORY]
RandomSebuah kisah yang saya tulis dengan kejujuran menyesal yang mendalam. Tidak sedalam sungai dimana perahu kertas kita layarkan, karna saya ikhlas begitu itu tertinggal di-2015. Abiyaksa