hubungan kami

15 8 4
                                    

Malam ini saya pergi kerumah Sereia, bermaksud menemani dia yang sendirian dirumah. Dia sudah izin ke keluarga nya yang sedang pergi sejak pagi tadi untuk mengunjungi keluarga yang sakit di luar kota.

Kami sudah resmi berpacaran, tapi tidak ada yang tau.

Saya membawakan beberapa makanan ringan untuk kami makan berdua didepan televisi yang menayangkan acara komedi.

Sereia selalu begini dirumah. Hanya menggunakan kain berlengan pendek dan celana yang sama pendeknya. Saya suruh dia untuk berganti tapi dia bilang kalau ini kawasannya.

Kami duduk seperti biasa saja, makan perlahan dan mengobrol ringan.

“Kamu sudah makan?” Tanya dia kepada saya. “Sudah” balas saya dengan pelan masih fokus pada layar.

“Kamu datang ke toko bangunan hari ini?” Tanya Sereia lagi. “Iya, setiap hari” Jawab saya menolehkan sedikit wajah saya yang dapat langsung melihat sisi wajah Sereia dari dekat.

“Sereia”

“Apa?” Saya tidak tau saat itu bermaksud memanggil karna mau apa, tapi yang saya ingat saya mengatakan hal yang kelewat kurang ajar.

“Bisa saya mencium kamu?”

Sereia terdiam lama menatap saya dengan berani pada mata kami masing-masing. “Dimana?” Tanyanya.
“Di sini, di sini” Jemari saya menunjuk pada pipi dan bibir nya yang cantik.

Dia menatap saya dengan kerlingan indah. Dalam satu bulan terakhir berpacaran, saya tidak hentinya mengangumi rupanya yang ayu yang baru saya sadari. Saya tertarik, pada semua bagian dirinya.

Tanpa kata tapi gerak pasti, saya menangkup sebelah pipinya dengan telapak tangan saya. Spontan mencium bibirnya sebagai objek utama. Kami terlena hanya karna bibir kami yang bersentuhan. Tangan saya menjamah, mengambil alih tubuhnya yang semula terduduk pada sofa, kini berada diatas pangkuan.

Saya melumat, dia sedikit mendesah kan nafas gelisah. Saya menjamah tubuhnya, dia semakin gelisah. Sebegitu gila saya kali ini. Rambut indah Sereia berantakan sana sini, dia memilih acuh dan terima dengan ke porak-porandaan nafsu yang tak terkendali. Semakin dalam, saya menelusup pada perpotongan lehernya yang jenjang saat merasa Sereia saya sudah kehabisan nafas.

Dia menggeram kecil saat tangan saya sengaja menyentuh bagian dadanya. Kini sofa itu beralih fungsi, semula duduk menjadi menindih. Saya menanggalkan pakaian luar yang ia kenakan, menyisakan pemandangan indah yang baru saya temui dimuka bumi.
Kami saling melumat kali ini, desah tak tertahan mengudara dan gerah menyerang kami.

Berpindah tempat, pergi ke kamarnya yang ada didekat sana. Saya berani, menggendongnya setengah bertelanjang. Dia malu, bersembunyi wajah pada dada saya. Ruangan semula dingin menjadi lebih panas dari ruang tamu saat saya memutuskan untuk menjamah lebih dalam dan masuk dengan pasti.

Bergerak perlahan dan konsisten, memberikan akal yang habis pada pegas yang saya ciptakan sendiri. Suara Sereia sangat merdu dan saya kecanduan.

Malam itu saya gila, kami gila.

“Ikuti mau saya Sereia, kita jangan berpisah.” Gadis yang baru saja saya nodai ini mengangguk berbalut kain tebal selimut yang ia punya.

—Perahu Kertas—

Perahu kertas [SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang