malam terlalu dingin untuk keluar

19 8 10
                                    

Saya mendapat pesan dari Sereia beberapa waktu lalu saat petang. Katanya ia ingin berjalan-jalan dengan motor. Ini hari senin dimana saya pergi ke toko bangunan dan pulang sampai petang yang sudah menggelap, mungkin juga dia sudah merasa diabaikan karna saya tak kunjung membalas pesannya.

Waktu lepas maghrib selesai makan malam baru saya membalas pesannya mengatakan jika saya akan mengajaknya pergi untuk mungkin akhir pekan, tapi dia berujung mungkin hanya membaca SMS itu.

Mungkin Sereia akan marah jika melihat saya selepas waktu isya malah keluar malam untuk sekedar nongkrong di warung gelap di pinggir jalan di persimpangan rumahnya.

Mengobrol ringan, memakan bala-bala (sejenis bakwan) dan banyak juga bertemu teman SD saya dan Sereia. Sebelumnya terlihat biasa saja, sesaat saya melirik kearah depan sana jalan ada seorang gadis dengan kaus lengan panjang dan celana training hitamnya, mata saya terlihat ingin menggelinding dari tempatnya.

Saya lirik jam pada dinding warung reot ini menunjukkan pukul hampir sepuluh malam dan gadis itu bisa-bisanya berjalan menuju arah warung ini dimana ada saya sedang bercengkrama bersama teman.

“Sereia?” Saya langsung berdiri menghampirinya yang tak kunjung berjalan sampai di mana warung ini berada. “Kamu sudah gila? Lupa waktu atau bagaimana?” Saya sedikit menatapnya dengan selidik.

Teman-teman yang duduk bersama saya dari arah lima meter di belakang punggung hanya diam menyimak kami yang sedang berhadapan badan.

“Ya, jawab” Saya mendesaknya karna dia hanya diam sambil memandangi saya yang jauh lebih tinggi darinya.
“Aku pengen wedang ronde,” Jawabnya dengan pelan dan menunduk “Tapi kamu enggak mau antar dari tadi siang.” Gelagatnya aneh dan terkesan takut-takut.

“Hei, kenapa nggak telepon aja? bisa diantar kerumah. Siapa yang bolehin kamu keluar rumah, Ya?” Saya menghela nafas cukup berat dan memandangi ia yang tertunduk memilin ujung kausnya.

Dia menggelengkan kepala pelan dan mendongak untuk mengatakan jika di rumah ia hanya sendirian. “Tunggu di motor situ,” Saya menunjuk motor saya yang terparkir tepat di bawah lampu penerang jalan “Pakai ini” lalu saya memberi dia jaket yang saya kenakan.

Hanya butuh lima menit untuk wedang ronde dengan air jahe hangatnya selesai di bungkus. “Sereia itu kan, Bi?” pertanyaan Saka saat saya pamit duluan ke mereka yang masih asik menikmati kacang goreng. “Iya, sepupu saya itu” Jawaban saya singkat lalu pergi menghampiri Sereia duduk di motor dengan tenang.

Lalu motor menyala dan berhenti di menit ke lima saat tepat saya dan Sereia sampai di depan pagar rumahnya yang tidak tertutup sepenuhnya.

“Rawan maling, Ya. Kenapa enggak di gembok ini pagar” Saya mengomel bergantian melihat dia yang berdiri di sisi saya yang duduk di motor dan ke arah pagar. Diam dia, seperti kesalahan saya yang mengabaikan pesannya lama itu adalah hal yang fatal.

“Kenapa?” Tiba-tiba dia menunduk dalam dan meremas kuat kantong plastik wedang ronde. Tak lama kakinya berlari kecil masuk ke dalam pagar rumah yang muat untuknya masuk walaupun celah pagar hanya dua jengkal.

Saya spontan turun dari motor dan menyusulnya. “Kenapa?” untuk kedua kalinya saat dia berjalan cepat saya mengekori hanya itu yang saya tanyakan karna saya benar-benar bingung. “Sereia, berhenti” tapi dia terus berjalan sampai badannya tepat di depan pintu masuk rumah.

“Sayang, kenapa?” Saya membalik tubuhnya dan mencoba mengendalikan tatapannya yang terus turun. Saat ia mendongak dan mata kami bertemu, setetes pertama dan selanjutnya lolos berlomba jatuh membasahi pipi dinginnya benar-benar membuat saya khawatir.

“Ada yang macam-macam dengan kamu? Ada sesuatu? Bilang! Jangan cuma bisa nangis!” Saya hanya bisa mengeluarkan pertanyaan itu untuk menyentaknya agar berbicara, benar-benar saya hanya mempunyai perasaan tak karuan.

“Bukan orang lain—” dia sesegukan kecil dan tak berkedip. Matanya memerah karna menahan tangis dengan kuat agar tidak terlalu bersuara “Tapi kita, Abi”

“Kita yang ada sesuatu.” Saya tidak bodoh untuk hal mencengkam seperti ini. Saya bergerak menurunkan knop pintu dan ternyata gadis bodoh ini tidak menguncinya dengan benar.

Sangat kasar, saya menarik tangannya untuk masuk dan berbicara benar-benar empat mata dengan Sereia yang masih menangis tertahan.

“Bicara yang jelas sekarang.” Saya menekan ucapan membuat ia mati kutu kembali menunduk lebih dalam untuk menghindari sosok saya yang berdiri menjulang didepannya.

“Aku mungkin hamil sekarang,” Dengan menunduk dia mengatakan itu dengan cepat, lalu kembali mendongak menatap saya “Apa kita berani bertanggungjawab? Apa kita bakalan berakhir di neraka?” Pertanyaannya adalah hal yang lebih berat dari beban apapun.

Jadi sekarang ada seseorang diantara kami?

Itu saya anggap bukan kesalahan karna itu benar-benar kami lakukan atas dasar sadar dan nafsu yang kami punya. Hanya soal waktu yang terlalu menjebak macet pikiran kami berdua.

Hening tercipta tidak melunturkan tatapan menelisik satu sama lain. Mungkin Sereia dengan tatapan menerka apa keputusan yang akan saya ambil, dan saya dengan mengeraskan rahang mencari kemana pikiran saya yang tidak dapat fokus sama sekali.

“Abi” Panggilnya saat sepuluh menit menuju sebelas kami bergeming.

“Aku memutuskan untuk menikah” Ujarnya dengan senyuman kecil. Semudah itu? “Kita bukan anak SMA yang akan di anggap ini terlalu bahaya, kita sudah di umur dewasa yang semua orang bisa berpikir jika kita memang sudah saatnya menikah” Gadis di depan saya ini memaksakan senyum cantiknya, namun dia nampak menyedihkan karna matanya yang kepalang perih memerah.

“Kita bisa kan?” Ujarnya mencari cara agar saya segera tersadar dari tatapan aneh untuknya. Tak lama saya memilih mengangguk, memaksakan otak agar ia tidak kecewa menunggu.

“Sudah berapa bulan?” Pertanyaan saya mengundang senyum nya yang perlahan menggantikan raut muram. Sereia saya kembali percaya diri.

“Dua bulan terakhir kan?” Jawabnya mengangkat dua alisnya yang terpahat rapih seperti memastikan bersama saya bahwa kejadian itu sudah terlewat dua bulan. Ternyata seseorang itu sudah hidup dua bulan di rahim Sereia.

“Cuci muka dulu, baru di makan wedang nya.” Ujar saya kemudian menarik tangannya menuju kamar mandi.

Memasuki kamar mandi, saya menuntunnya perlahan agar tidak terpeleset. Mengambilkannya segayung air untuk ia mencuci muka. Wajahnya kembali bersinar, saya melihat itu dari pantulan cermin berukuran sedang di depan kami.

Setelah itu kami duduk berhadapan di meja makan. “Sereia” Saya memanggil namanya. Entah mengapa nama itu terdengar cantik dan langka di sekitaran. “Eum?” Dia menjawab begitu saja.

“Setelah ini semua yang kamu butuhkan, panggil aku” Saya mengatakan itu dengan ringan seakan-akan tegang tadi bukanlah apa-apa untuk membuat kami canggung berkepanjangan.

“Kamu enggak akan terganggu?” Jawab gadis di seberang meja yang perlahan tangannya mengaduk semangkuk besar wedang di hadapannya. “Tentu, itu tanggungjawab kan?” yang saya dapat hanya senyumnya yang hampir menghilangkan seluruh matanya.

“Kalau kamu nggak jawab telepon.. aku datang kerumah kamu malam-malam ya?” Ujar nya kemudian menatap saya. Ekspresi saya membuang muka tidak suka dan mengatakan, “Malam terlalu dingin untuk anak itu keluar, dia mudah sakit kayak kamu.”

“Kok kamu tau? Kok kamu sok tau?”

“Karna aku bapaknya.”

—Perahu Kertas—

Perahu kertas [SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang