BAB 7 : HILANGNYA LENTERA DALAM RUMAH

2 0 0
                                    

HALOO TEMAN - TEMANN

HAPPY READING

7. HILANGNYA LENTERA DALAM RUMAH

"Tiap - tiap yang bernyawa akan merasakan mati."

- ofc

"Innalillahi wa innailaihi rajiun."

Suara tersebut menggema di seluruh rumah, seseorang yang menjadi titik kumpul keluarga besar kini sudah berpulang ke Rahmatullah. Terdengar isak tangis yang mengiringi kepergiannya. Sosok tersebut telah menghembuskan nafasnya tepat pukul 12.30 WIB dengan wajah tersenyum.

Banyak para pelayat yang berdatangan untuk berbelasungkawa atas kepergian beliau. Beberapa sanak saudara yang rumahnya tak terlalu jauh dari kediaman beliau pun sudah berkumpul disana.

Tinggal beberapa anak cucu yang berada diluar kota, kini masih berada di perjalanan. Kabar yang cukup mengagetkan, dikarenakan tidak ada kabar sakit apapun, tiba - tiba ada kabar meninggal dunia.

Memang, meninggal tidak melihat tempat dan waktu. Terkadang ada yang meninggal saat disawah, ada yang meninggal ketika bersujud dan ada yang meninggal karena sakit. Karena sejatinya, meninggalnya seseorang sesuai dengan kebiasaannya.

Anin menangis sesegukan di sebelah tubuh kaku milik Halimah. Betul, seseorang yang berpulang adalah Halimah, nenek dari Anin. Sungguh hati rasanya cukup tersayat melihat neneknya tengah merasakan sakaratul maut, apalagi sekarang tubuh itu sudah terbujur kaku disana.

Langit juga menampakkan mendung, hendak memberi informasi bahwa sebentar lagi turun hujan. Apakah langit juga merasakan kesedihannya juga?

Ali —putra bungsu Halimah menghampiri Anin yang masih berada disana. Tangan kekar itu mengelus punggung keponakannya.

"Ikhlasin uti, ya? Biar jalannya ga susah." Anin tau, pamannya itu pasti sama terpukulnya. Anak mana yang tidak sedih ketika ditinggal oleh ibu untuk selama - lamanya, apalagi Ali merupakan putra bungsunya yang mendapatkan kasih sayang lebih dari sang ibu.

Anin menatap Ali dengan wajah sembab, "Om, aku masih ga mau ditinggal uti." Rengeknya. Pria paruh baya itu memeluk Anin, mengusap pucuk kepalanya yang masih dibalut hijab itu.

"Setiap manusia akan merasakan mati, kamu, om dan yang lain juga akan mati. Ikhlas ga ikhlas harus ikhlas, jangan memberatkan jalannya uti, ya."

Meskipun masih belum menerima nasehat itu, setidaknya Anin sudah mulai tenang. Beberapa menit berlalu, hujan kemudian turun dengan derasnya yang menandakan turut bersedih atas kehilangan sosok yang amat dicintai.

Anak cucunya pun akhirnya sudah berada dikediaman, mereka berhamburan mendekatkan diri pada jenazah Halimah, ingin melihat sang nenek untuk terakhir kalinya sebelum disemayamkan. Sebagian dari pelayat ikut membacakan Surah Yassin yang ditujukan untuk Almh.

Anin pun menuju teras rumah, melihat langit yang masih senantiasa mengguyur bumi.

"Wahai langit, apakah kamu juga sedih mendengar kabar ini?" Monolognya lirih. "Sudah ya sedihnya, aku saja berusaha untuk menghilangkan rasa sedih, mengapa kamu tetap menangis?"

Padahal kata - kata tersebut lebih cocok untuk dirinya. Setetes air mata masih saja mengalir dipipinya, ia tersadar ketika ada tangan yang melingkar dipundaknya. Ternyata abang sepupunya yang kini sudah disampingnya.

Hai, TuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang