━━━━━━━━━━ ˚• ° . ┊ ┊ ┊˚✧ . ༄
PAGI INI aku melihatmu lagi.
Berdiri di titik yang sama, ketika matahari mulai memunculkan semburat cahayanya di waktu fajar. Tepat seperti saat terakhir kali kau datang. Memandangku dengan tatapan penuh kerinduan, tetapi enggan untuk melangkah menghampiriku.
Dalam remang cahaya dan jarak beberapa petak sawah pun, aku masih bisa mengenali secara utuh sosokmu. Seseorang yang telah kukenal sejak lama—seseorang yang telah mewarnai hidupku dengan kenangan indah tak terlupakan.
Baik kau maupun aku, kita sama-sama diam, mematung tanpa kata.
Hingga saat matahari telah sepenuhnya menampakkan diri di ufuk timur dan menyinarinya sisi wajahmu, kau masih diam. Hanya senyum simpul yang tergambar pada wajahmu saat memandangku, seakan mencoba meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.
Itulah saat di mana kau harus pergi, kembali ke tempatmu bersembunyi di dalam hutan yang gelap.
Sudah berminggu-minggu sejak perang militer di wilayah ini terjadi. Dan selama itu pula kau telah bersembunyi.
Walau bertahun-tahun lamanya kau telah singgah di sini, kau masih harus menjaga mandat aslimu sebagai seorang prajurit. Tentara koloni, di mana kau harus berperang melawan para pribumi—melawan kaumku yang telah menerimamu di sini. Tentu saja kau memilih untuk pergi, tidak menunaikan kewajibanmu sebagai tentara koloni, tetapi juga tidak membelot dari pasukanmu untuk membantu para pribumi.
Aku tahu, dalam persembunyianmu, kau sering menyebut dirimu pengecut karena memilih lari dari dua pilihan sulit ini—lari dari kedua kubu yang membentuk siapa dirimu sekarang. Tidak apa, bagiku, lari adalah tindakan paling berani yang telah kauambil. Aku tidak membencimu karena hal itu.
Kini pertempuran memang telah berakhir, tetapi tidak dengan emosi warga desa.
Mereka memburu para tentara koloni yang tersisa, bahkan yang telah lama bermukim di sini seperti kau dan teman-temanmu. Tidak peduli berada di mana loyalitas kalian, para penduduk tutup mata. Bagi mereka, membiarkan mantan tentara koloni hidup, artinya membiarkan bibit-bibit kembalinya penjajah.
Setitik air mata mengalir di pipiku tanpa kukehendaki. Menyaksikan kau berbalik dan tenggelam dalam rimbunnya pepohonan hutan.
Dan aku masih di sini. Duduk sendu di pelataran belakang rumah menatap kosong ke arah hutan di utara. Aku hanya dapat memandang kepergianmu dalam diam dan mengharapmu kembali beberapa hari yang akan datang di titik yang sama.
Sungguh, aku selalu ingin berlari dan memelukmu begitu erat. Hanya saja, pesan orang tuaku selalu menghentikanku.
"Situasi di luar masih belum membaik. Warga desa masih terbius amarah. Jangan pernah membicarakan tentang dia apalagi menemuinya, jika kamu tidak ingin sesuatu buruk terjadi padanya," pesan Ayahku suatu hari sekembalinya dari desa.
Ibu juga pernah menasihatiku suatu pagi, "Jaga dirimu dan pandanganmu. Orang-orang tahu kau memiliki ikatan istimewa dengan seorang tentara koloni. Mereka akan sering mengawasimu untuk menemukan dia. Ibu harap kau bisa berhati-hati dan jangan pernah mencarinya."
Dengan itu, aku pun memilih untuk mengabaikanmu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala di Utara
Roman d'amour[EPISTOLARI] Ada seseorang yang sejak perang kemerdekaan kamu ketahui selalu melihatmu dari kejauhan dan kamu tahu betul siapa dirinya. Dia, orang yang sudah bertahun-tahun kamu kenal. Apakah kamu akan menghampirinya atau kamu lantas pergi mengabaik...