[EPISTOLARI]
Ada seseorang yang sejak perang kemerdekaan kamu ketahui selalu melihatmu dari kejauhan dan kamu tahu betul siapa dirinya. Dia, orang yang sudah bertahun-tahun kamu kenal. Apakah kamu akan menghampirinya atau kamu lantas pergi mengabaik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MALAM ITU SUASANA di luar begitu dingin dan menakutkan. Beberapa waktu sekali, gemuruh guntur disertai kilatan cahaya begitu terang mewarnai langit; pertanda badai akan datang dalam waktu dekat. Entah bagaimana kekacauan esok pagi bila badai disertai angin kencang terjadi.
Aku tidak lagi dapat menebak sudah berapa lama aku terjaga, dari dinginnya angin yang berembus, bisa dipastikan tengah malam telah terlewatkan.
Ada yang menghalangiku menemuimu di alam bawah sadarku: pikiran tentangmu sendiri.
Semakin aku memikirkannya, semakin sulit untukku memejamkan mata. Bayanganmu kini berada di mana-mana dalam kegelapan. Tidak membiarkan pikiranku terlepas olehmu.
Kacaunya pikiranku kini terasa lebih mengerikan daripada badai sekalipun.
Rintihan itu.
Semua ingatanku tampak abu-abu.
Bagaimana bisa aku melupakannya?
Sungguh, aku yakin semua itu tidaklah nyata. Itu hanyalah mimpi buruk yang terbentuk oleh kekhawatiran tidak berdasarku. Tidak mungkin semua itu terjadi.
Aku bahkan tidak mengingat persis bagaimana kejadian itu berlangsung. Tentu saja, karena itu tidak nyata.
Jelas-jelas aku melihatmu kemarin. Begitu juga beberapa pekan yang lalu.
Mana mungkin selama ini aku berkhayal bertemu denganmu.
... Atau mungkinkah aku?
Tidak. Tentu saja tidak. Aku yakin kau ada di sana kemarin. Aku tidak mungkin salah.
Lalu, kalung militer itu...
Ayah pasti tidak sengaja menemukannya di jalan yang kaulintasi. Aku yakin itu. Kau tidak sengaja menjatuhkannya.
Semua ini tidak masuk akal. Ayah dan Ibu pasti berbohong! Tidak mungkin kau telah pergi! Aku menolak mempercayainya!
Tetapi memori itu ada.
Cairan merah pekat melumuri pakaianmu.
Tidak. Itu semua hanya ada di kepalaku.
Kenyataan datang begitu cepat menerpaku seperti badai. Sementara aku masih tertatih-tatih kesulitan dalam memprosesnya. Anganku dibawa terbang, tidak dapat menyeimbangi arus yang begitu besar.
Segalanya tentangmu benar-benar mengacaukanku: menyerap habis udara di dadaku. Membuat jantungku tidak bekerja semestinya. Kepalaku, ia berputar tidak karuan sesuatu membebaninya begitu saja. Pandanganku mulai kabur. Lalu tubuhku..., aku bahkan tidak dapat merasakan kedua tanganku. Apakah ia bergetar hebat atau diam membeku, aku tidak tahu.
"Runi, Ibu mohon. Ikhlaskan kepergiannya. Kau harus pulih," pesan Ibu kembali terputar di kepalaku.
Tidak. Kau masih di sini, jauh di dalam hutan sana, bersembunyi.
"Runi. Malam itu kau di sana .... Ibumu begitu terkejut ketika beberapa warga desa mengantarmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan pakaian berlumur darah."
Warga.
Mereka yang mengejarmu ketika kau tidak berbuat apa-apa. Mereka yang harus bertanggung jawab atas semua ini.
Malam itu...
Kau mengucapkan selamat tinggal hanya untuk sementara. Kau berjanji akan hal itu.
Aku ingin mempercayainya, tetapi gambar di kepalaku tentang pandangan kosong dari manik cokelat terangmu menggoyahkan keyakinanku.
Bagaimana bisa kau melanggar janji yang baru saja kaubuat?
"Seruni, dengarkan Ibu, Nak," Ibu sekali lagi berpesan, "Dia telah tiada."
Bagaimana bisa?
Kau tidak mungkin telah...
Bahkan untuk menyebutnya saja aku tidak mampu. Menyakitkan.
Kau masih di sini. Menanti hingga kondisi kembali damai dan kembali menjalani hidup seperti semula. Menjadi ksatria penyelamatku di kala aku kesulitan. Berbagi cerita dan rencana masa depan di waktu senggang.
Kau tidak mungkin pergi.
Tanpa sadar, aku telah jatuh di lantai. Aku bahkan tidak merasa sakitnya sama sekali. Pikiran mengenaimu begitu menyakitkan hingga aku mati rasa.
Aku tidak mungkin telah telah kehilangan sosokmu.
Semuanya tampak samar sekarang. Aku tidak lagi dapat membedakan mana yang hanya mimpi dan mana yang nyata.
Aku harus memastikannya. Perlahan, aku mengangkat kakiku yang bersimbah di tanah. Aku harus bangkit dan membuktikan bahwa kau masih di sini. Menarik napas begitu dalam, aku berusaha mendapatkan kembali kontrol tubuhku. Kepalaku masih pening, tetapi aku dapat merasakan tanganku.
Dalam diam, aku melangkah keluar dari rumah. Gerimis. Sebentar lagi badai datang. Tapi aku tidak peduli. Kakiku telah mantap melangkah ke arah hutan.