2. Kisah Pilu Azizah (b)

203 32 9
                                    


Sedetik lepas bisik-bisik ke telinga Okan, Dian langsung menyahut.  "Nah, bener, Rel. Kamu dan Okan harus nolongin Azizah," ujar Dian. 

Aurel baru tahu bahwa ibu mertuanya itu punya pendengaran ultrasonik macam lumba-lumba.

"Bun, membawa Azizah kabur ke sini bukan jalan keluar terbaik. Bagaimana kalau orang tuanya malah mendapat masalah dengan Pak Kriwil?" potong Okan dengan santun.

Pendapat Okan ada benarnya, tapi berhubung Aurel tidak mengenal orangtua Azizah, dia jadi bodo amat. Menolong Azizah akan menaikkan nilai Aurel di mata Dian. Barangkali sang ibu mertua pada akhirnya akan memaafkan Aurel dan melupakan masa lalu nan kelam. 

"Mas, nggak apa-apa. Ini bisa jadi pelajaran untuk orang tua Azizah. Supaya mereka sadar bahwa anak itu bukan aset yang bisa dijual."

"Cerdas kamu, Rel," puji Dian spontan. 

Demi apa? Aurel baru bicara segitu aja, Dian sudah memujinya cerdas. Aurel semakin yakin sikap ibu mertuanya akan berubah 180 derajat, asalkan dia bisa baik-baikin Azizah. Hemmm, lagi pula, membantu orang lain kan dapat pahala ya… 

Okan menarik napas dalam-dalam, tampaknya dia masih berusaha bernegosiasi dengan bundanya. "Bun, masalah ini masih bisa dirembug kok. Soal pinjol, kita bisa bantu bayarin. Nanti orang tua Azizah bisa mencicil secara teratur."

Azizah menggeleng sambil terisak. "Jangan, Mas. Bapak dan Mamah pasti tetap akan kesulitan mencicil. Zizah nggak mau orang tua Mas Okan jadi ikut susah karena orang tua Zizah."

Untunglah Azizah menolak. Aurel lumayan tidak rela kalau Okan harus keluar uang untuk membayar utang orang lain. Itu kelemahan fatal Okan. Pria itu terlalu baik. Dulu saja, Okan rela bin ikhlas kehilangan uang 60 juta demi membebaskan Aurel dari tangan Andika. Masa sekarang Okan harus mengulang sejarah?

"Lalu, kita harus bagaimana? Apa kamu punya rencana, Zi?" tanya Okan lembut.

Kenapa Okan harus memenggal nama Azizah jadi Zi? Kenapa bukan Az atau Zah (biar kayak lagi ngusir ayam)? Zi terkesan seperti panggilan sayang. Aurel tidak suka mendengarnya.

"Zizah mau kerja di Jakarta, Mas. Zizah udah bawa ijazah." Azizah menepuk tas besar yang tergeletak di dekat kakinya. "Nanti gajinya akan Zizah kirim ke kampung, supaya Bapak bisa nyicil bayar pinjol."

Okan menggeleng. Ekspresi wajahnya pesimis. "Kamu cuma lulusan SMA, sulit dapat pekerjaan dengan gaji yang bagus. Belum lagi masih harus dipotong biaya makan, indekos, transportasi."

"Zizah nggak makan banyak."

Itu sih kelihatan dari postur Azizah yang tinggi semampai, batin Aurel.

"Zizah biasa puasa Senin Kamis."

Waduh, Aurel mendadak merasa kalah saleh. Salat lima waktu saja, Aurel masih harus diingatkan oleh Okan. Untung Okan sabar. 

"Tapi …."

"Okan, Nak…" potong Dian. "Bunda bawa Azizah ke sini supaya kamu bisa menolongnya. Kamu kan bisa mencarikan pekerjaan untuknya. Atau rekrut Azizah jadi karyawan di bisnis makanan yang kamu rintis bersama Aurel. Azizah anak yang rajin. Kamu nggak akan rugi mempekerjakannya."

"Okan bisa mempertimbangkan itu, Bun. Tapi, Okan tetap nggak bisa memberi gaji yang tinggi. Bisnis kami belum besar. Bunga pinjol akan semakin mencekik sebelum uang Zizah bisa terkumpul."

"Pokoknya, kamu dan Aurel harus bantuin Azizah. Kalau perlu, biarkan dia tinggal di sini. Jadi, dia bisa ngirit pengeluaran untuk kos. Di rumah ini kan masih ada kamar kosong."

Okan dan Aurel bertukar pandang. Aurel membelalak ngeri. Saran Dian benar-benar tidak terduga. Aurel tidak bisa membayangkan ada orang asing yang menumpang hidup di rumahnya. 

"Kamu nggak keberatan kan, Rel?" todong Dian sekonyong-konyong. "Bunda akan sangat berterima kasih kalau kamu mau membantu Azizah. Itung-itung kamu menebus kesalahanmu yang dulu."

Jleb! Aurel tidak bisa berkata-kata.




Tukang Ikan itu SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang