4. Masuk Angin (a)

229 26 3
                                    

Masuk angin ternyata merupakan salah satu gejala perasaan batin yang tertekan. Setidaknya hal itulah yang bisa disimpulkan Aurel dari fenomena yang melanda dirinya sendiri. Setelah mendapat ultimatum dari Dian, Aurel langsung jatuh sakit keesokan harinya. Kepalanya pusing, badannya nggreges, perutnya mual dan kembung. Yah, perempuan mana yang bisa tetap sehat saat diancam dengan kata cerai. 

Di kepala Aurel masih terngiang segala nasihat bercampur celaan dari Dian.

“Kamu tu seperti orang nggak punya iman. Soal keuangan itu nggak perlu dicemaskan. Rezeki anak sudah ditentukan oleh Allah. Coba kamu lihat kodok! Kodok sekali bertelur itu telurnya ratusan. Nyatanya, semua anaknya hidup.”

Ya kali manusia disamakan dengan hewan. Hewan tinggal mangap doang, makanan masuk sendiri ke mulut. 

“Bunda dulu waktu mengandung Okan juga masih serba sulit. Asalkan kita mau kerja keras, rezeki itu pasti ada. Nyatanya, Okan juga bisa hidup mandiri dan berkecukupan.”

Tapi kesiapan menjadi ibu bukan hanya tentang saldo tabungan. Bagaimana dengan kondisi mental? Kalau ada perempuan yang sadar bahwa mentalnya tidak siap menjadi ibu, lalu memutuskan untuk tidak punya anak, apakah itu salah? Okan saja tidak keberatan mereka memakai kontrasepsi, kenapa Dian yang harus ribut?

Semua perkataan Dian diucapkan dengan nada tinggi yang menyedot seluruh energi di alam semesta. Okan dan Azizah tentu mendengarnya. Buktinya, mereka berdua langsung datang ke dapur. 

“Bun, sudah. Lain kali saja kita ngomongin soal momongan. Okan nggak kesusu kok. Kami kan baru satu tahun menikah,” bela Okan dengan nada lembut. Pria itu menghampiri Aurel yang masih duduk sambil tertunduk. Okan menangkup bahu sang istri.

“Buat apa punya istri kalau nggak mau mengandung anakmu?” sembur Dian.

Bahu Aurel bergetar, menahan tangis. Dia menyeka air mata sebelum sempat menetes. Untung maskaranya waterproof. Setidaknya kecantikannya tetap paripurna walau dicela habis-habisan oleh Dian.

“Bun…” tegur Okan masih dengan sabar. “Aurel bukan nggak mau. Hanya ingin menunda sebentar sampai kami benar-benar siap.”

Urip sing penting usaha karo tawakal, Okan. Begitu kan didikan Ayah dan Bunda.” Dian masih kukuh.

“Okan ngerti, Bun. Tapi benar-benar mempersiapkan diri juga nggak ada salahnya. Okan setuju dengan keinginan Aurel menunda kehamilan, jadi Bunda juga nggak perlu mempermasalahkan, ya.”

Dian berkacak pinggang. “Bunda ingin punya cucu, Nak. Di kampung kita, para tetangga sering menanyakan, ‘Mas Okan sudah punya momongan belum? Bu Dimas sampun gadah wayah?’ Bunda nggak mau kamu dicap mandul, padahal aslinya istrimu yang nggak mau hamil.”

Dian memelotot ke arah Aurel, meskipun wajah sang menantu tidak tampak, karena menunduk semakin dalam. “Kenapa kamu nggak mau hamil, Rel? Kamu takut gendut? Takut nggak seksi lagi? Atau dasarnya kamu males repot ngurus bayi?”

“Bun, Okan sudah tegaskan tadi. Aurel bukan nggak mau hamil. Hanya saja, kami ingin semuanya siap sebelum ada anak. Tolong Bunda hormati keputusan Okan dan Aurel,” ujar Okan selembut kapas.

Ya Allah, Aurel salut banget sama kesabaran Okan. Kok dia bisa tetap mempertahankan nada datar nan lembut padahal suhu di dapur sudah sedemikian panasnya.

“Hiks, ceguk, ceguk.” Saking lamanya Aurel menahan tangis, dia sampai cegukan. Semua orang sontak melihat ke arahnya. 

Okan langsung tidak tega. Dia segera beralih melihat ke arah Azizah. “Zi, tolong ajak Bunda beristirahat ke kamar,” perintahnya.

Azizah mengangguk dan flashback pun selesai. 






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tukang Ikan itu SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang