9- Perempuan Gila

197 28 0
                                    

Ini namanya perjuangan bukan obsesi
***

"Makan yang banyak ya, Zel."

Gadis itu mengangguk mendengar suara lembut dari wanita di sebelahnya. Ia mengambil nasi lalu menyuapkan ke mulut, mengunyah dengan hati-hati. Diam-diam tatapannya ia arah pada sosok di seberangnya yang tengah sibuk dengan kegiatan sarapannya.

Embusan napas berat keluar dari bibirnya. Hanzel kira, Gamma akan berubah menjadi lebih manis setelah kejadian semalam. Ternyata dugaannya salah karena lelaki itu malah bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Ciuman yang Gamma berikan terasa begitu tulus. Pula tatapan lembutnya yang membuat Hanzel mabuk kepayang. Semakin terjerat saja dirinya oleh pesona lelaki itu.

"Udah aku hapus. Sekarang kamu harus ingat, laki-laki yang kamu cintai yang pernah cium kamu."

Perkataan Gamma masih terus terngiang di benaknya. Kalimat manis yang tidak akan pernah Hanzel lupakan.

Semalam, setelah mengatakan hal tersebut, Gamma beralih memeluknya. Hanzel yang masih terkejut dengan dua kejadian berbeda tak mampu bersuara. Gadis itu hanya diam, menikmati pelukan hangat yang diberikan Gamma serta tepukan pelan di punggungnya hingga mengantarkannya pada lelap. Saat terbangun, hanya ada Naya yang masih tertidur di sebelahnya.

Selesai makan, Hanzel sempat membantu mencuci piring meski sudah dilarang. Gadis itu bersiap untuk pulang karena siang nanti harus masuk kerja. Meskipun merasa kondisinya belum sepenuhnya membaik, tapi Hanzel tidak bisa mengambil libur seenaknya.

Hanzel menghentikan langkah di depan pintu kamar Gamma. Ia mengangkat tangan lalu mengetuk dengan ragu.

"Masuk!"

Hanzel mendorong pintu di depannya. Gamma sedang mengenakan jam tangan, bersiap untuk berangkat ke kantor. Lelaki itu  tampak gagah dengan kemeja abu yang membalut tubuh tegapnya.

Semakin mendekat, Hanzel dapat mencium aroma musk yang menyegarkan.

"Ada apa?" tanya Gamma yang kini beralih mengambil dasi. Biasanya lelaki itu akan bersiap-siap setelah sarapan.

"Aku mau ngucapin makasih buat semalem." Hanzel meremas kedua jemarinya lalu mendongak hingga tatapan mereka bertemu. "Maaf karena udah nyusahin kamu."

Gamma hanya menanggapi dengan anggukan. Seharusnya ia juga meminta maaf karena telah mengabaikan panggilan dan pesan Hanzel hingga kejadian mengerikan menimpa gadis itu, tapi lidahnya terus kelu.

Hanzel merasa kecewa dengan respon yang diterimanya, padahal ia berharap Gamma akan membahas kejadian semalam. Namun, apa yang ia harapkan dari lelaki cuek di depannya?

"Aku ... sekalian mau pamit."

Gamma menghentikan gerakannya yang tengah memasang dasi. "Ini masih pagi," ucapnya melanjutkan kegiatannya. "Kebetulan Yaya mau ke kampus siang nanti. Kamu bisa ikut bareng. Biar Pak Min yang anterin kalian."

Gelengan Hanzel berikan. "Siang nanti aku juga mau berangkat kerja, takut nggak-"

"Kerja?" potong Gamma lalu berdecak. Lelaki itu kini bersedekap dada. Tatapan tak suka tampak jelas di wajahnya. "Kamu nggak sadar cara jalan kamu masih kayak gitu?"

Hanzel melirik ke arah kakinya. Sakitnya memang masih terasa, tapi ia sudah mengambil jatah libur dua hari lalu. Jika izin sakitpun, harus ada surat keterangan dari dokter.

"Aku ... udah nggak apa-apa."

"Kamu bahkan ragu sama jawaban kamu sendiri." Gamma tidak habis pikir dengan sikap keras kepala gadis di hadapannya. Ia bahkan masih sangat ingat, bagaimana tangisan penuh ketakutan Hanzel semalam. Apakah gadis itu tidak merasa trauma?

Seandainya KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang