Bukankah jatuh cinta sendirian itu terlalu menyesakkan?
***"Terima kasih banyak, Bunda. Semoga hari Bunda menyenangkan!"
Hanzel mengatupkan kedua tangan dan sedikit menundukkan kepala pada salah customer Re-Putri. Gadis itu tersenyum tipis memandangi punggung wanita paruh baya yang baru saja membeli satu set skincare atas rekomendasinya.
Re-Putri adalah merk skincare dan make up dari perusahaan yang menaunginya. Produk tersebut cocok untuk semua kalangan, dimulai dari remaja hingga lanjut usia.
Hanzel menyimpan produk yang sempat ditawarkan pada wanita tadi.
Ia kemudian menunduk, menatap ke arah kakinya dan menggoyangkan pelan karena rasa pegal menghampiri. Sepanjang hari, ada customer atau tidak, ia harus tetap berdiri di depan rak kosmetik.Seharusnya hari ini ia pulang sore, tapi berhubung rekannya tak masuk karena sakit, ia terpaksa lembur. Deana yang selalu satu sift dengannya walau berbeda perusahaan sudah pulang lebih dulu, begitupun Raline.
Sembunyi-sembunyi, Hanzel mengeluarkan ponsel dari saku. Tidak bertemu Gamma selama dua hari terakhir membuatnya rindu. Mengharapkan kabar dari lelaki itu adalah hal mustahil jika bukan dirinya yang menghubungi lebih dulu.
Hanzel: Lagi apa, Ga?
Hanzel: Aku hari ini lembur, padahal tadinya pingin ngajak kamu makan di luar :)Hanzel menyimpan ponselnya lagi, berharap Gamma akan membalasnya nanti. Namun, hingga malam tiba, lelaki itu tak tetap tak ada kabar.
Mendesah berat, Hanzel menyantolkan sling bag-nya. Jam kerjanya berakhir tepat pukul sembilan malam. Ia kira, Gamma akan peka dengan keinginnya, tapi seperti biasa kode darinya tidak mendapatkan hasil.
Hanzel menggerutu pelan sembari berjalan di paving blok. Sepertinya ia harus memesan gojek online karena angkutan umum di malam hari sangat jarang. Namun, baru saja jemarinya menekan tombol masuk ke aplikasi untuk memesan, sebuah klakson mengentikan pegerakannya.
Kedua sudut Hanzel tertarik, tapi senyumnya kembali lenyap mengetahui siapa yang ada dibalik kemudi. Bukan Gamma, melainkan Abra.
"Mau pulang, Zel?" tanyanya setelah menurunkan kaca mobil.
"I-iya, Mas." Hanzel tahu tujuan dari pertanyaan tersebut ke arah mana.
"Yuk, aku anter!"
Seketika ia mengangkat tangan, memberikan gerakan penolakan. "Nggak usah, Mas. Aku mau pesen gojek aja."
Tidak menerima penolakan, Abra turun dan berjalan mengitari mobil untuk menghampirinya.
"Udah malem, bahaya." Lelaki itu berujar tepat setelah berdiri di hadapannya.
"Tap-" Hanzel tak melanjutkan ucapannya karena Abra sudah menarik lengannya lalu membukakan pintu mobil.
"Masuk, Zel. Biar aku anter," ucap lelaki itu dengan nada tak ingin dibantah.
Hanzel membuka mulut, hendak berusaha kembali menolak. Namun, tatapan intimidasi Abra membuat lidahnya terasa kelu. Mendesah berat, ia akhirnya mengangguk lalu memasuki mobil. Hal tersebut menciptakan senyuman di bibir Abra.
Suasana dalam kendaraan terasa canggung. Mungkin karena mereka tidak terlalu dekat walau Abra sudah sejak lama memperlihatkan ketertarikannya.
Lelaki itu sempat bertanya seputar kehidupannya yang ia jawab dengan singkat dan tidak menimbulkan rasa penasaran untuk menggali lebih dalam.
"Mas Abra bukannya belum waktunya pulang?" tanya Hanzel karena lelaki itu bisa-bisanya keluar di saat jam kerjanya belum berakhir.
"Iya, abis ini aku balik lagi kok, tadi cuma izin sebentar." Jawaban tersebut cukup membuatnya tertegun. Jadi, Abra sengaja meluangkan waktu hanya untuk mengantarnya pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Kita
RomanceHanzel Adisty adalah perempuan paling nekat yang rela menggadaikan rasa malunya. Meninggalkan kota kelahiran demi bisa bersama Argamma bukanlah hal sulit karena baginya, tidak bersama lelaki itu hatinya lebih sakit. Lalu bagaimana jika bertahun-tahu...