24- Sebuah Kenyataan

214 25 4
                                    

Padahal kamu yang paling tahu betapa menderitanya aku selama ini, Mas.
***

Sepulang bekerja, Hanzel meminta bertemu dengan Rean yang notabennya sahabat Abra. Semalam ia merasa tidak tenang setelah membaca pesan dari Gentari. Hanzel yakin ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya dan mungkin itu juga yang menyebabkan sikap Abra terlihat aneh.

Mereka bertemu di sebuah kedai yang terletak di dekat taman kota. Hanzel sengaja memilih tempat yang cukup jauh karena tidak ingin Abra mengetahuinya. 

Hanzel mulai menceritakan apa yang dirasakannya termasuk mengenai chat semalam. Lelaki berambut hitam legam itu tampak mendengarkan dengan seksama, tidak berniat menyela sampai dirinya benar-benar selesai bercerita. 

"Aku ngerasa Mas Abra menyembunyikan sesuatu," ucap Hanzel lalu menatap lelaki di seberangnya, berharap Rean memang mengetahui sesuatu. "Sebagai sahabat, Mas Rean pasti tahu."

Hanzel tidak melemparkan pertanyaan secara langsung, tapi Rean tahu bahwa dirinya tengah meminta sebuah penjelasan untuk menghilangkan perasaan curiganya. 

Rean terdiam beberapa saat. Terlihat jelas kalau lelaki itu tengah berpikir dalam, mungkin merangkai perkataan atau mencoba menutupi sebuah rahasia. 

"Kita memang sudah bersahabat begitu lama, tapi-"

"Mas Rean nggak mau ngasih tau aku, apa yang terjadi?" Hanzel dapat menebaknya. Rean tampak enggan memberitahu apa pun.

Rean mengatupkan bibir. Terdiam lagi cukup lama lalu mengembuskan napasnya yang terdengar berat.

"Ada beberapa yang tidak berhak aku ceritakan," ujar lelaki itu disertai raut penuh penyesalan. 

Sepertinya bukan hal sepele. Dari ekspresi Rean, Hanzel merasa apa yang disembunyikan adalah sesuatu yang tidak baik. 

"Ayolah, Mas!" Hanzel tidak sabar ingin mengetahui walau sebenarnya ada perasaan tidak siap mendengar hasil akhirnya. 

"Zel, maaf. Ini bukan ranahku untuk memberitahu, tapi Abra pasti akan cerita suatu saat." 

Hanzel merasa lelaki di depannya hanya sedang berusaha menenangkan. 

"Apa Mas Abra dan Mbak Gentari pernah memiliki hubungan?" tanyanya membuat Rean sempat terkesiap. Hal tersebut tak luput dari perhatian Hanzel. 

Gelengan Rean berikan. "Mereka bersahabat dari kecil."

"Aku nggak yakin di antara mereka nggak pernah terlihat perasaan." Hanzel berkata tegas. 

Pertanyaannya tak mendapat jawaban. Rean mengembuskan napasnya lalu menatap Hanzel dengan kedua tangan di atas meja. "Zel, semua yang membuat kamu gundah, tidak akan hilang jika kamu bertanya pada orang yang salah."

Hanzel mendesah berat, merasa kecewa karena tak mendapat jawaban. Namun, setidaknya ia tahu bahwa Abra benar-benar menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.

Pada akhirnya Rean harus pergi karena ada keperluan lain, padahal Hanzel yakin lelaki itu hanya beralasan saja karena tidak mau terus ditanyai. 

Gadis itu masih mendudukan diri di tempatnya. Abra cukup tertutup akhir-akhir ini, bahkan saat dirinya bertanya, sang kekasih selalu mengalihkan topik. 

Getaran ponsel membuat perhatiannya teralih. Hanzel memandangi benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sejenak dibuat tertegun mendapati nama wanita yang melahirkannya terpampang di layar. 

Tidak ada yang Hanzel lakukan selain diam dan membiarkan panggilan tersebut berhenti. Barulah setelah itu, dirinya mematikan ponsel agar sang mama tidak kembali menghubunginya.

Seandainya KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang