Aku rasa pergi dari dunia ini adalah akhir dari penderitaan
***Inikah akhirnya?
Hanzel tidak pernah menduga bahwa hubungannya dengan Abra akan seperti ini. Ia kira, waktu bahagianya sudah datang, ternyata Tuhan masih terus mengujinya.
Lelah, kecewa dan marah. Hanzel benar-benar merasa hidupnya sangat tidak adil. Ia bahkan merasa sudah tak tahu lagi cara berdoa yang baik agar Tuhan mengabulkan doanya. Ini salah. Tidak seharusnya Hanzel bersikap seperti ini. Namun, dirinya sudah terlanjur muak dengan kesedihan yang menimpa tanpa henti.
Apakah Hanzel memang ditakdirkan untuk tidak bahagia selama hidupnya?
Jika benar lalu untuk apa ia bertahan selama ini?Tentu untuk merayakan kesakitannya.
Hanzel menghapus bulir air mata yang tak kunjung berhenti. Pulang ke kontrakan setelah mengendarai maticnya dengan ugal-ugalan, yang ia lakukan hanya duduk dan menangis hingga berhari-hari.
Hanzel sudah menaruh begitu banyak harapan, tapi siapa sangka sosok yang ia yakini tidak akan pernah menyakiti justru menjadi tokoh utama yang menghancurkannya?
Ia kira, membatasi perasaan tidak akan membuatnya terluka. Hanzel merasa tidak bisa jatuh cinta lagi setelah dipatahkan oleh Gamma. Ia hanya menjalani hari-harinya, menganggap bahwa dirinya hanya perlu dicintai. Ternyata yang katanya tuluspun tidak ada bedanya.
Mungkin ... semua laki-laki memang diciptakan brengsek. Tidak ayahnya, tidak pula Gamma, dan kini Abra.
Kalau tidak salah, ini sudah hari ke tiga Hanzel tidak masuk kerja. Dirinya beralasan sakit dan berbohong akan memberikan surat dari dokter nanti, padahal Hanzel berencana akan berhenti bekerja. Ia rasa tidak ada gunanya mengumpulkan banyak uang. Toh, Hanzel juga sudah tidak tahu harus menjalani kehidupan seperti apa kedepannya.
Beberapa orang terus mencoba menghubunginya. Deana, Raline, mamanya bahkan Abra bergantian mengunjungi kontrakan, tapi tidak satupun yang ia bukakan pintu. Beruntung Dara sedang dinas ke luar kota sehingga tidak ikut datang menyambangi.
Hanzel tidak tahu apakah mereka sudah mengetahui masalahnya. Kali ini dirinya tidak bercerita pada siapapun, termasuk Dara. Mereka hanya merasa cemas dan terus menanyakan apa yang terjadi. Mungkin juga mereka sudah mengetahui kabar tentang pernikahan Abra?
Haha, Hanzel pasti terlihat sangat menyedihkan sekarang dan itu cukup memalukan.
Suara ketukan membuat gadis itu menoleh ke arah pintu. Keadaan rumah tampak temaram karena Hanzel sengaja tidak membuka gorden. Namun, mendengar suara yang memanggilnya, ia mendesah berat. Abra masih belum berhenti mencoba menemuinya, padahal Hanzel sudah mengatakan membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya.
"Zel? Tolong buka pintunya!"
Hanzel hanya diam, tidak sedikitpun berniat beranjak untuk membuka pintu.
"Kita butuh bicara. Jangan kayak gini, please!"
Jika tidak seperti ini, Hanzel tidak tahu harus berbuat apa. Melepaskan Abra rasanya ia tidak sanggup, tapi ... lelaki itu sudah menjadi milik perempuan lain. Mereka sudah sah secara agama.
Sekarang, Hanzel berubah menjadi orang ketiga diantara mereka. Ia membenci fakta tersebut.
Entah berapa lama Abra bertahan di luar sana. Hanzel sempat terlelap karena selama berhari-hari tidak bisa memejamkan mata. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir makan. Lagipula, untuk apa bertahan jika pada akhirnya tetap menderita seumur hidup.
Hanzel merebahkan badan di sopa. Keadaan ruangan yang gelap gulita tidak ia pedulikan. Air matanya mungkin sudah kering setelah menangis berhari-hari. Namun, lukanya tak kunjung membaik, rasa sakit masih menghujam dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Kita
Roman d'amourHanzel Adisty adalah perempuan paling nekat yang rela menggadaikan rasa malunya. Meninggalkan kota kelahiran demi bisa bersama Argamma bukanlah hal sulit karena baginya, tidak bersama lelaki itu hatinya lebih sakit. Lalu bagaimana jika bertahun-tahu...