Kenapa semesta tak membiarkanku merasa tenang?
***Abra akhirnya kembali bekerja setelah tiga hari tidak masuk. Seharusnya Hanzel senang, tapi melihat raut mendung kekasihnya membuatnya ikut sedih. Mungkin Abra masih merasa kehilangan.
Hanzel kira hanya membutuhkan beberapa hari untuk membuat lelaki itu kembali ceria. Perlahan kehilangan yang dirasakan sang kekasih akan berkurang dan mengembalikan Abra kembali menjadi sosok hangat. Namun, setelah satu pekan berlalu, kekasihnya masih tetap murung.
Abra menjadi lebih pendiam, bahkan terlihat sering melamun saat bersamanya. Hanzel tidak tahu sedalam apa luka lelaki itu karena dirinya tak diizinkan tahu. Kalau dipikir-pikir, mereka adalah sepasang kekasih. Hanzel bahkan sudah diperkenalkan kepada keluarga besarnya, tapi kenapa Abra seolah menutupi musibah yang terjadi?
Sampai saat ini Hanzel juga tidak tahu siapa sosok yang telah membuat kekasihnya begitu kehilangan.
Masih sangat ingat saat pertama kali lelaki itu kembali masuk kerja. Hanzel menghampirinya dengan raut riang dan bermaksud memeluk sang kekasih, tapi respon membuatnya kecewa. Entah perasaannya saja atau tidak, sang kekasih tampak menghindar bersentuhan dengannya, padahal Hanzel sangat membutuhkan pelukan tersebut untuk menghilangkan bayangan seseorang yang kembali merasuki pikirannya.
Hanzel merasa ada yang aneh, tapi bingung mencari tahu karena tidak mengenali siapapun keluarga Abra, kecuali sahabatnya itupun hanya sebatas kenal karena pernah tidak sengaja bertemu.
Rean ...
Hanzel pernah menyimpan kontaknya. Mungkin ia bisa mencari tahu lewat lelaki itu nanti. Sekarang, ia hanya perlu berbicara dengan kekasihnya yang sulit sekali ditemui karena alasan sibuk.
Hanzel tersenyum mendapati Abra keluar dari ruangannya. Ia melangkah mendekat tanpa menyadari raut gusar sang kekasih.
"Mas!" panggilnya membuat lelaki itu menghentikan lajunya.
"Zel, kamu nunggu aku?" Abra memasukan ponsel ke saku.
Anggukan Hanzel berikan. "Iya, kita udah lama nggak lunch bareng. Aku ka-"
"Azel," potong Abra. Ada raut penyesalan dalam tatapannya. Lelaki di hadapannya menarik napas, terlihat memikul beban yang begitu berat. Diraihnya tangan Hanzel ke dalam genggaman. "Zel, maaf ya? Akhir-akhir ini aku nggak punya waktu buat kamu."
Hanzel mencoba mengerti keadaan kekasihnya dan kembali memberikan anggukan. "Nggak apa-apa, aku ngerti kamu masih sedih atas kehilangan yang menimpa keluarga kamu." Meskipun ... aku juga ngerasa sedih karena nggak tau apa-apa.
Satu tangan lelaki itu digunakan untuk memberikan usapan di kepalanya. "Kamu percaya sama aku, kan?"
Kernyitan muncul di dahi Hanzel.
"Aku sayang sama kamu, Zel."
Hanzel hampir tersenyum. Namun, kenapa tatapan Abra terlihat begitu sendu? Kenapa tiba-tiba dadanya terasa sakit?
Abra tidak sedang menyembunyikan apapun darinya, kan?
"Kamu ... aneh," ucap Hanzel. Bukan ini yang ia harapkan dari kekasihnya. Hanzel sedang ingin diyakinkan bahwa kehadiran Gamma tidak berpengaruh untuk hidupnya saat ini. Namun, sikap Abra justru membuat perasaanya tidak enak.
"Aku nggak apa-apa." Abra merapikan rambutnya, tampak berusaha keras untuk tersenyum.
"Apa yang terjadi? Kamu kenapa sebenarnya?" Akhirnya pertanyaan tersebut meluncur dari mulutnya. Sayangnya mendapat gelengan dari lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Kita
Любовные романыHanzel Adisty adalah perempuan paling nekat yang rela menggadaikan rasa malunya. Meninggalkan kota kelahiran demi bisa bersama Argamma bukanlah hal sulit karena baginya, tidak bersama lelaki itu hatinya lebih sakit. Lalu bagaimana jika bertahun-tahu...