"Jadi, mau makan di mana?"
Hanzel kembali memutar badannya, membaca nama beberapa kedai yang berjejer rapi mengelilingi area taman.
"Food court gimana?" tanyanya. Kebetulan di area paling ujung terdapat food court, letaknya berada di atas parkiran atau tepatnya di lantai dua. Di sana terdapat ragam makanan tradisional hingga modern.
"Ya udah, yuk!" Gamma meraih tangannya, menuntunnya menaiki tangga besi. Mereka berjalan tanpa suara.
"Kamu mau beli apa?" tanya lelaki itu. Keduanya memelankan laju sembari melihat sekitar.
"Kamu sendiri?" Hanzel bertanya balik hingga menciptakan decakan lelaki di sampingnya.
"Aku nanya kamu, bukan malah nanya balik." Gamma melepaskan genggamannya beralih mendorong pelan punggung gadis itu. Kebetulan di belakang mereka ada gerombolan remaja yang tengah melihat-lihat. "Cepetan, Zel. Bentar lagi pasti penuh tempatnya."
"Iya bentar, aku bingung mau beli apa. Kayanya enak semua." Hanzel mulai sebal karena diburu-buru.
"Ya udah beli yang kamu mau."
"Nanti nggak abis. Sayang uangnya," ucap gadis itu. Hanzel memikirkan beberapa makanan sembari mengira-ngira total harganya.
"Kan aku yang bayarin." Santai sekali Gamma berkata seperti itu mentang-mentang orang kaya.
"Ya tetep aja namanya uang," celetuk Hanzel. Tidak sepertinya, lelaki itu bekerja bukan untuk uang, melainkan demi memuaskan hasratnya untuk menjadi orang sukses.
Terdengar embusan napas berat. Entah sudah berapa kali Gamma mengalah. "Ya udah, kita belinya satu porsi berdua dan kamu bisa beli apa yang kamu mau. Aku habiskan tanpa sisa kalau kamu kekenyangan."
"Yeay, gitu dong!" Hanzel menjauhkan tangan Gamma yang tidak ia sadari sudah merangkul pinggangnya. Ia menarik jemari lelaki itu sembari berceloteh, "Aku pingin jajanan Korea, lumpia basah, sama ..." Hanzel mengarahkan pandangan ke arah sebelah kanan. "Corndog terus itu pisang keju!"
Mulut Gamma terbuka lebar. "Kamu yakin?"
Anggukan gadis itu berikan. "Katanya kamu siap nampung kalau nggak habis."
Hh, masalahnya Gamma tidak terlalu suka jajanan seperti itu. "Oke."
Pada akhirnya ia mengantar Hanzel memesan beberapa makanan tersebut lalu mencari tempat duduk yang kosong. Boba Thai green tea adalah minuman favoritnya, berbeda dengan lelaki di seberangnya yang hanya membeli air mineral.
"Enak banget," seru gadis itu sembari mengunyah bakso seafood di mulutnya. "Kamu cobain, Ga." Hanzel menyodorkan ke arah sang pujaan hati yang hanya pasrah. "Enak, kan?"
"Hm," dehemnya lalu berbicara setelah makanan di mulutnya habis. "Jangan ngomong terus, nanti keselek." Lelaki itu meraih tisu dan mengusap sudut bibir Hanzel yang terkena saus. Diperlakukan seperti itu tentu saja ia bahagia bukan main.
Selesai makan, mereka pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Magrib sisanya mereka hanya duduk di alun-alun masjid sembari menikmati keindahan di malam hari lalu mengelilingi beberapa gerai disekitar taman. Ada gerbai baju dengan harga terjangkau dan aksesoris.
Hanzel terus mengajak berbicara saat melihat barang yang menarik di matanya, tapi Gamma menanggapi tidak fokus. Tatapannya tertuju pada ponsel. Gadis itu jadi curiga pujaan hatinya sedang berkirim pesan dengan Ashila.
Berusaha menahan kesal, Hanzel memilih melihat beberapa bandana. Keinginan untuk membeli barang-barang tersebut lenyap sudah.
"Kamu mau ada yang dibeli?" tanya Gamma sembari memasukkan ponsel ke saku. Raut lelahnya berubah cerah. Terang saja Hanzel semakin sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Kita
RomanceHanzel Adisty adalah perempuan paling nekat yang rela menggadaikan rasa malunya. Meninggalkan kota kelahiran demi bisa bersama Argamma bukanlah hal sulit karena baginya, tidak bersama lelaki itu hatinya lebih sakit. Lalu bagaimana jika bertahun-tahu...