1. Pertemuan

29 5 11
                                    

Ish!

Aku semakin berjinjit saat buku yang aku inginkan tidak berhasil tergapai karena berada di rak teratas. Menahan cemberut, beberapa kali aku mengutuk diri sendiri karena memiliki tubuh yang tidak tinggi. Iya, aku pendek. Mungkin kira-kira sekitar 160 sentimeter atau-eh kenapa jadi ngomongin tinggi badan aku sih? Ganti-ganti, balik ke topik awal.

"Ish!" Kali ini aku sudah tidak tahan mengeluarkan decakan kesal. Bibirku memberengut. Daripada aku terus merasa kesal di sini lebih baik aku mencari Anin dan meminta bantuannya saja.

Ketika aku memutar tubuh, hendak mencari keberadaan Anin di perpustakaan sekolah yang begitu luas, keningku menabrak sesuatu saat berbalik.

"Aduh!"

Keras tapi hangat.

Kepalaku kontan mendongak dan mendapati seorang cowok yang berdiri begitu dekat denganku. Hanya terpisah sekitar 5 senti, dan jika aku bergerak sedikit saja aku yakin kami akan bersentuhan.

Jadi, aku hanya bisa menahan napas dan menunggunya-yang entah sedang berbuat apa.

"Nih," Cowok itu menyodorkan buku yang sedari tadi aku gapai. "Lo mau ambil buku ini, kan?" Sebelah alisnya naik ketika menanyakan itu.

Seperti orang gagu, aku cuma bisa mengangguk-angguk kecil, sedikit terkejut. Setelah mengerjap beberapa kali, aku mengambil buku itu dengan perasaan ragu. Sedikit mendongak dan menatapnya ketika mengatakan, "Makasih." Dengan suara lirih.

Cowok itu berlalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Aku masih melihat punggungnya sampai perlahan dia melangkah keluar dari perpustakaan. Aku berkedip. Menggeleng kecil sejenak lalu berbalik dan hendak mencari keberadaan Anin.

Juga menganggap kejadian barusan seperti tidak terjadi apa-apa.

---

"Kenapa?"

Anin bertanya saat aku berhasil menemukannya yang sedang duduk di paling sudut perpustakaan, tertutup oleh rak-rak yang terisi penuh oleh buku setelah berputar-putar sekitar 2 kali.

Aku duduk di depannya dengan memasang wajah badmood. Tidak menjawabnya juga.

"Cha, kenapa?"

Aku memandangnya lurus sambil bertopang dagu dengan kedua tangan. "Hm," gumamku. "Enggak apa-apa."

Dibalik lensa kacamata yang tampak cocok di wajahnya, Anin mengerutkan alisnya. "Keliatan banget bohongnya."

"Udah nggak apa-apa kok, bener deh." Ini nih yang kadang-kadang buat aku kesal-entah kesal atau merasa greget karena nggak bisa bohong dari Anin-karena dia yang terlalu peka terhadap sekitarnya. Terutama padaku. Dia sudah tahu semuanya tentangku. Dari kebiasaan makan, tidur, jalan, berbicara, ketawa sampai kebiasaan badmoodku seperti saat ini, itu semua sangat terlihat jelas di mata Anin.

"Bener?"

Aku mengangguk seraya melihat buku yang berada di hadapan Anin. "Belajar apa?"

Anin membalik halaman bukunya. Berkedip sekali lalu membalas, "Sejarah."

"Buat?"

Anin memandangku sekilas. "Minggu depan ulangan harian, Cha."

"Hah? Yang bener?! Kok gue nggak tau sih?"

"Udah dikasih tau dari minggu lalu malah sama Pak Kino."

Aku merebahkan kepala di atas meja. Sibuk mengingat-ingat apakah Pak Kino pernah mengatakan hal itu minggu lalu. Tersadar sesuatu, aku mengangkat kepala, memandang Anin yang tertutup oleh anak poniku.

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang