3. Sebuah Tawaran

19 5 28
                                    

Detik seolah membeku seketika.

Terasa darah dalam diriku seakan berhenti mengalir. Jantungku berdegup kencang. Sangat terkejut dengan apa yang terjadi.

"Lo nggak apa-apa?"

Ha?

Aku kontan mendongak, menatap cowok itu. Sedikit ngilu ketika melihat darah mengalir di tangannya. Aku menggelengkan kepala seraya menyadarkan tubuh dari rasa terkejut.

Sadar Alesha.

Aku bangkit berdiri dan buru-buru membantu cowok itu untuk membetulkan letak rak buku seperti semula.

"Lo ... nggak apa-apa?" Kali ini aku yang bertanya. Rasa cemas dan khawatir menjadi satu kala melihat cowok itu menahan ringisan. "Tangan lo berdarah. Gue anter ke uks ya?" Aku hendak memapahnya ketika cowok itu langsung menolak dengan menepis tanganku kasar.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri."

Kok gue malah merasa deja vu ya?

Aku menggeleng.

"Nggak. Gue bakal bantu lo." Tatapan cowok itu sedikit menajam. "Nggak ada penolakan. Anggap aja gue berterima kasih karena lo udah tolong, oke?"

Cowok itu tidak menjawab bersamaan dengan Anin yang tiba.

"Cha lo nggak kenapa-napa, kan?"

Aku memandang Anin lalu menggeleng kecil.

"Gue nggak kenapa-napa, tapi.." Aku menoleh ke cowok itu, menunjuknya menggunakan dagu. "Gara-gara tolong gue dia jadi berdarah begitu. Makanya ini mau gue bantu pergi ke uks."

Anin mengalihkan pandangannya ke arah cowok itu. Keningnya sedikit mengerut ketika berujar, "Loh, Laka?"

Eh? Anin kenal dengan cowok itu?

"Lo kenal Nin?"

Anin mengangguk tanpa menatapku. "Hm, kenal."

Tiba-tiba tanpa berpamitan kepadaku atau Anin, cowok itu--yang ternyata bernama Laka--melenggang pergi begitu saja. Dengan memegang siku kanannya yang tetap mengalir darah--meski kini sudah mulai berhenti.

Sontak aku setengah berlari mengejarnya. "Eh, gue anter ke uks ayo."

"Gue bisa sendiri." Laka membalas tanpa menoleh kepadaku.

"Tapi gue mau bantu lo."

"Dan gue nggak butuh bantuan lo."

Aku berdecak. Sedikit kesal dengan sikapnya.

"Bodo, gue bakal tetep anter lo ke uks." kataku bersikap keras kepala. Karena dia--Laka--tidak ingin aku bantu memapahnya, jadi aku hanya berdiri di sebelahnya sambil memperhatikannya lamat-lamat.

Sambil melangkah aku menoleh ke Anin. "Lo nggak mau ikut, Nin?"

Anin menggeleng. "Kalian aja. Gue lumayan cape abis lari-lari. Mau istirahat aja di sini."

Aku mengangguk lalu menatap Laka kembali ketika dia tidak sengaja meringis cukup jelas.

"Sini gue bantu."

Kali ini tidak ada penolakan. Laka membiarkan aku memapah dirinya meski terlihat enggan.

"Terserah lo."

---

Saat kami tiba di uks, di sana sudah begitu ramai. Ada banyak siswa-siswi di dalamnya, entah sedang beristirahat atau meminta obat. Dan ada beberapa anak PMR yang sedang serius mengobati luka orang lain.

Aku membantu Laka duduk di salah satu ranjang yang tersedia. Ranjang yang terletak paling ujung.

"Sebentar, gue panggil anak PMR dulu." kataku lalu mencari anak PMR yang sekiranya masih belum turun tangan.

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang