4. Kontrak Persetujuan

13 4 21
                                    

Mataku membola.

Apakah aku tidak salah dengar barusan?

"Lo ... mau jadi guru les gue? Beneran?"

Laka tidak mengangguk karena hanya menatap lurus kepadaku. "Iya."

"Kenapa? Perasaan tadi lo nggak mau." tanyaku penasaran.

"Emang harus ada alesannya? Kalo lo nggak mau, yaudah." balasnya acuh tak acuh sembari memutar tubuhnya, hendak pergi.

Kontan aku menahan pergelangan tangannya.

"Eh! Gue mau! Mau banget!"

Laka diam dengan membelakangiku.

"Gue cuma nggak nyangka aja gitu." sambungku, menahan rasa senang. Ada angin apa sampai tiba-tiba Laka mau jadi guru lesku? Tetapi bukankah ini patut untuk disyukuri?

Laka memutar tubuhnya kembali, memandangku.

"Mau kapan?"

Aku mengerutkan kening. "Apanya?"

"Mulai lesnya."

Aku berpikir sebentar. Ini sudah sangat sore dan ojek online pesananku sudah tiba dari lima menit yang lalu. Bukan waktu yang tepat untuk membahas hal seperti ini.

"Eum, kayaknya nggak sekarang deh. Ini udah sore banget. Ojek online pesanan gue juga udah dateng." Aku menurunkan pandangan ke hoodie yang dipakai oleh Laka. Berwarna biru tua yang entah kenapa terlihat begitu serasi di tubuhnya. "Gimana kalo kita bahas besok aja di perpus? Pas pulang sekolah? Bisa nggak?" saranku yang kembali menatapnya.

Laka mengangguk singkat. "Bisa."

Angin sore menerpa wajahku dan membuat beberapa anakan rambutku terbang bersamaan dengan bibirku yang mengulum senyum kecil.

"Oke. Gue tunggu besok."

---

Tersisa 10 menit untuk bel pulang berbunyi. Tapi yang entah kenapa malah terasa begitu lama bagiku. Aku sampai tidak sadar berdecak dan menghentakkan kaki berkali-kali.

Anin yang duduk di sebelahku tentu saja menyadari tingkahku yang tidak biasa itu.

"Lo kenapa sih? Dari tadi kayaknya nggak sabaran banget."

"Bel pulang masih lama ya?" Aku menimpali pertanyaan Anin dengan pertanyaan.

"Kenapa sih? Ada apa emangnya?"

"Nggak ada apa-apa. Gue cuma nggak sabar buat pulang aja, Nin." elakku.

Aku menggerutu karena guru di depan sana menjelaskan materi dengan begitu lama. Kenapa dia tidak pergi saja sih? Tinggal beberapa menit juga.

"Hari ini gue nggak ke perpus Cha."

Perkataan Anin itu berhasil membuat aku menatapnya. "Kenapa?"

Anin menyampirkan rambutnya. "Keluarga gue nanti malem ada acara. Semacam kasih kejutan buat nenek sama kakek gue gitu."

Aku mengangguk.

"Nanti lo langsung pulang juga?" Anin memandangku.

Aku menggeleng.

"Gue mau ke perpus dulu."

Kening Anin langsung berkerut. "Tumben mau sendiri. Biasanya kalo nggak sama gue nggak mau."

Aku berdeham. Mengalihkan pandangan ke guru di depan. Mencoba untuk tidak melirik Anin.

"Mau cari novel gue." alibiku. Dalam hati berdoa semoga saja Anin percaya. Aku bukannya tidak mau jujur tentang pertemuanku dengan Laka nanti, hanya saja aku malas menjelaskan jika ditanya lebih lanjut oleh Anin. Oke?

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang