5. Rutinitas Baru

18 4 5
                                    

Siang itu, saat istirahat kedua, di kantin sekolah terjadi pembicaraan serius antara aku dan Anin yang di mulai dari pertanyaan sederhana dariku;

"Lo kenal Laka, Nin?"

Gerakan Anin yang hendak menyuap pempek ke dalam mulut langsung terhenti. Dia menatapku dengan kening berkerut. "Hm, kenal. Kenapa emangnya?"

"Kenal dari?"

Anin menaruh sendok di mangkuk pempeknya terlebih dulu. Membetulkan letak kacamata yang sedikit turun lalu mengambil tisu yang selalu tersedia di meja kantin untuk mengelap sekitar bibirnya.

"Sebenarnya gue juga nggak begitu kenal. Cuma karena setiap pengumuman ranking pararel diumumin, kita selalu barengan. Jadi yaudah, mau nggak mau gue jadi kenal."

Aku melipat kedua tangan di meja. Menatapnya penasaran. "Maksud lo?"

Anin malah menatapku heran. "Emang lo nggak tau?"

Aku langsung menggeleng.

"Enggak. Tau apaan?"

Anin meminum minumannya sejenak. "Laka itu selalu ranking 1 pararel. Dari kelas sepuluh malah." Setelahnya Anin memandang lurus kepadaku. "Dan gue selalu jadi yang kedua, habis dia." lanjut Anin dengan suara lirih. Aku tahu ada kesedihan samar di nada suaranya.

Tapi otakku tidak memikirkan itu.

Otakku malah memikirkan Laka. Bagaimana bisa dia menjadi ranking 1 pararel? Sungguh, aku selalu dibuat terkejut dengan fakta-fakta yang ada tentang dirinya.

Maksudku ... duh gimana ya? Aku agak susah menjelaskannya.

Oke-oke, aku akan menjelaskannya sebisaku, perihal kalian paham atau tidaknya itu terserah kalian.

Kemarin Laka sudah bilang, kan kalau dia bekerja part-time di tiga tempat yang berbeda-beda. Ditambah dengan dirinya yang tinggal di ... aku berdeham kecil. Di panti asuhan. Jadi mustahil buatnya untuk mengambil les atau kelas tambahan, kan? Tapi bagaimana bisa dia menjadi ranking 1 tanpa melakukan salah satu dari kedua hal itu? Ya, aku tahu ada seseorang yang memiliki otak cerdas seperti dirinya. Hanya saja ... aku masih sulit untuk percaya.

Dia selalu berada diluar dugaanku. Sungguh mengejutkan.

Bukan. Bukan mengejutkan. Melainkan sangat mengagumkan.

"Kenapa tiba-tiba lo bahas Laka?" Aku tahu Anin pasti menanyakan ini. Dan aku juga memang ingin berkata jujur dengannya perihal yang kemarin dan tentang rencanaku untuk belajar bersama Laka.

Aku berdeham kecil. Melirik sebentar ke arahnya lalu membuang tatapan ke tempat lain.

"Jadi gini ..." Aku memelankan suara dan beralih menatapnya lagi. "Tapi lo janji jangan marah."

"Marah karena?"

"Janji dulu."

"Iya-iya gue janji."

Aku kembali menatap tempat lain. "Jadi kemarin waktu gue dipanggil bu Tyas ke ruang guru, nggak sengaja ada Laka. Dan bu Tyas langsung suruh Laka buat ngajarin gue matematika." Bayang-bayang di ruang guru kemarin ikut terputar ulang di mataku. Membuat senyum kecil hadir di wajahku. "Terus ternyata gue paham waktu dia ajarin. Bayangin coba, sejago apa Laka sampe gue yang dari dulu nggak pernah paham sama matematika tiba-tiba langsung ngerti waktu dia jelasin?"

Anin mengangguk-angguk. "Terus?"

Aku berdeham. Baru menyadari jika terlalu bersemangat menceritakan tentang Laka.

"Ya, terus tanpa ba-bi-bu lagi gue minta sama dia buat jadi guru les pribadi."

"Di terima?"

Aku tersenyum kecut.

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang