8. Menunggu Apa yang Ditunggu

26 4 14
                                    

Harapan adalah penantian yang seringkali berakhir pada garis kecewa. Dia muncul begitu saja tanpa dipinta. Diam-diam lahir, diam-diam hadir. Kemudian menoreh luka ketika yang datang jauh dari khayalan yang nyata.

Itu adalah sederet kalimat di sebuah novel yang sedang kubaca. Sedikit menyentuh, memang. Bahkan aku sempat menangis ketika membaca novel itu.

"Mau pulang sekarang nggak, Cha?" tanya Anin.

"Hm. Emang jam berapa sekarang, Nin?" jawabku sambil terus memandang halaman buku.

"Setengah lima."

Aku kontan menatap Anin. "Yang bener? Kok cepet banget. Perasaan tadi masih jam tiga, deh."

Anin mengedikkan bahu.

"Mau pulang sekarang nggak?"

Aku mengangguk. "Iya, sekarang." Lalu membereskan alat tulis yang berserakan karena habis menyelesaikan suatu tugas.

Kami mulai berjalan menuju gerbang sekolah semenit kemudian.

Lalu ketika melintasi lapangan sekolah, aku mendengar seseorang berseru keras-keras, "Awas!"

Kepalaku otomatis berputar ke sumber suara, dengan mata yang terbelalak saat melihat bola basket terbang ke arahku. Seperti dejavu, namun kali ini aku segera mengelak dengan mundur beberapa langkah sambil menarik Anin menjauh.

Aku mengembuskan napas lega. Syukurlah kali ini aku berhasil menghindar dan bahuku selamat.

"Maaf ya, gue nggak sengaja lagi. Hehe..."

Mendengar suara itu, aku langsung mendelik marah ke si pelaku yang melempar bola basket. Lagi-lagi si cowok itu. Mikha!

Aku memandangnya sengit.

"Lo kenapa sih? Ada masalah apa sampe setiap gue lewat selalu hampir kena bola basket gara-gara lo."

Mikha malah tertawa.

Yang jelas saja emosiku semakin tersulut karenanya.

"Nggak jelas lo. Mending lo diem daripada––"

"Daripada apa?" Mikha memotong perkataanku.

Aku mengerjap. "Daripada.. daripada..." Kenapa aku malah kehilangan kata-kata begini? Duh! "Ya, lo ngapain main basket mulu? Nggak ada kerjaan apa lo emangnya?"

Mikha berkacak pinggang. Dan aku baru menyadari jika cowok itu sedang memakai jersey sekolah. 

"Ini gue lagi kerja."

Aku mengerutkan kening. Kerja apa? Perasaan dia cuma main bola basket saja. "Kerja apaan lo?"

Mikha memasang raut menyebalkan. "Kepo, kan lo."

Aku memutar bola mata.

"Serah lo."

Saat aku dan Anin ingin berjalan kembali, Mikha buru-buru menghalangi jalannya.

"Eits, jangan pulang dulu."

Aku semakin geram sama sikapnya.

"Apaan sih lo? Nggak jelas banget. Gue mau pulang. Awas!" bentakku galak.

"Kalo mau pulang lo harus janji dulu." ucapnya yang sangat ingin aku tendang sekuat tenaga.

"Janji apaan sih?! Lo nggak liat tuh, temen-temen lo udah pada panggilin. Udah sana."

"Minggu besok gue ada lomba basket lawan sekolah lain di sini. Terus gue pengin lo dateng, nonton."

Tentu saja aku akan menontonnya. Aku ini sangat suka sekali melihat lomba olahraga semacam itu, tapi karena Mikha sudah terburu menawariku duluan, otomatis aku menolaknya. "Ogah! Ngapain gue nontonin lo."

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang