9. Khawatir

20 3 10
                                    

Hanya ada satu alasan kenapa Laka tidak datang ke perpustakaan. Dia marah. Setidaknya, itulah yang terlintas di benakku ketika sibuk menduga-duga kenapa Laka mengingkari janjinya.

"Echa, kenapa? Dari tadi kok cuma sibuk aduk-aduk piring aja. Makanannya nggak enak?"

Gerakan tanganku kontan berhenti mendengar pertanyaan Bunda. Mengangkat kepala guna menatap Bunda, aku menarik senyum kecil. "Enak kok Bun, Echa cuma lagi mikir aja." jawabku sambil menyendok nasi dan langsung mengunyahnya.

"Mikir apa sih, Cha kamu ini? Ada apa? Kalo ada sesuatu bilang sama Bunda."

Aku menggeleng kecil tanpa menanggalkan senyum.

"Nggak ada apa-apa Bun, cuma masalah biasa." ucapku singkat lalu meraih segelas air dan meminumnya hingga tandas. "Echa udah selesai makan, mau langsung ke kamar. Mau ngerjain tugas, ya." Sebelum Bunda, Ayah atau Kak Atta menyelaku, buru-buru aku bangkit dari kursi dan berjalan ke kamar. Memutar kunci dua kali, memastikannya sudah terkunci rapat.

Aku merebahkan tubuh setelah mengambil ponsel di meja belajar. Membuka aplikasi pengirim pesan dan mengetik sesuatu.

Kenapa tadi lo nggak dateng?

Lalu segera menghapusnya sedetik kemudian.

Kenapa lo nggak dateng?
Ada sesuatu?

Tidak. Tidak. Bukan begitu.

Lo marah?

Aku menghela napas dan menaruh ponsel di samping dalam keadaan mati. Memandang langit-langit kamar dengan pikiran penuh. Merasa jenuh karena belum memiliki titik terang untuk mengurai masalah ini.

Aku memejamkan mata.

Sebaiknya besok aku meminta maaf langsung kepada Laka.

Ya, sebaiknya begitu.

---

"Laka nggak masuk?" tanyaku agak terkejut pada Gina, temanku. Hari ini aku bertekad untuk meminta maaf pada Laka. Tidak peduli jika dia enggan memaafkanku.

Gina mengangguk.

"Iya, Sha."

"Kalo boleh tau kenapa Gin? Dia sakit atau gimana?"

Gadis dengan rambut sebahu itu menggelengkan kepala atas pertanyaanku. "Nggak ada yang tau, Sha. Dia nggak masuk dari kemarin. Mana guru-guru pada nanyain dia." cerita Gina. Sedetik kemudian dia memandangku dengan raut bertanya. "Omong-omong kenapa lo cari Laka, deh?"

"Mm..." Aku menjeda cukup panjang. "Ada urusan aja gue sama dia, Gin. Eh dia malah nggak masuk." Aku buru-buru mengulas senyum kecil sebelum Gina bertanya lebih jauh lagi. "Oke, makasih ya, Gin. Gue pergi dulu."

Sambil terus melangkah ke kantin untuk membeli minuman dingin kepalaku berkecamuk memikirkan berbagai kemungkinan tentang Laka. Kenapa dia tidak hadir? Apakah terjadi sesuatu? Tapi dilihat dari kebiasaannya yang selama ini aku amati, Laka bukanlah tipe murid yang suka bolos tanpa keterangan. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Tapi apa?

Apa itu ada hubungannya dengan panti? Atau pekerjaannya? Atau mungkin ... Laka sakit?

Di antara ketiga alasan itu pasti ada yang benar. Tapi yang mana?

Aku menghela napas gusar. Merasa lelah sendiri mencari jawaban lain atas ketidakhadiran Laka.

Apa aku perlu--

"Aduh!"

Karena terlalu sibuk memikirkan Laka, aku sampai tidak memerhatikan langkah. Yang alhasil kepalaku tertabrak sesuatu dan langsung terasa guyuran air yang membasahi seragam depanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang