2. Kejadian di Perpustakaan

20 5 15
                                    

"Nggak bareng sama pacarnya lagi, Cha?"

Aku mendelik malas mendengar itu.

"Apaan sih Kak Atta. Yang kemaren itu bukan pacar Echa!"

Aku masih menggerutu ketika menaiki motor Kak Atta di jok belakang. Kak Atta ini Kakakku satu-satunya. Fyi, kami hanya dua bersaudara. Yang terdiri dari empat orang sebagai keluarga inti. Bunda, ayah, Kak Atta dan juga aku. Usia Kak Atta terpaut 7 tahun denganku. Umurnya sudah 24 tahun tetapi masih belum menikah. Bukan jomblo karena sudah punya pacar. Kak Tania namanya. Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Dan aku juga sudah mengenal Kak Tania cukup baik karena sering di ajak main ke rumah oleh Kak Atta.

Saat ini, Kakakku ini sedang sibuk bekerja untuk menabung uang untuk biaya pernikahan--katanya sih begitu. Karena tempat bekerjanya cukup jauh dari rumah, Kak Atta selalu berangkat pagi dan karena selalu melewati sekolahku jika hendak menuju kantornya jadi setiap pagi kami selalu berangkat bersama. Hemat biaya dan ongkos--ini katanya. Di tambah aku juga malas kalau harus membawa motor. Merepotkan.

"Udah?"

Aku mengangguk. "Iya."

Motor pun melaju masuk ke jalan raya bersamaan dengan otakku yang memutar kembali kejadian kemarin.

---

"Lo ngapain sih?"

"Pastiin lo sampe rumah dengan keadaan baik-baik aja."

Aku memutar bola mata mendengarnya.

Apa coba maksudnya itu? Apa dia nggak ada kerjaan sampai mau ikuti aku begini? Daripada aku berbicara lagi dengannya dan menjadi kesal, lebih baik aku diam saja. Menganggap seolah kehadirannya tidak ada di depanku.

Mobil angkot sudah mulai beranjak pergi.

Dari rumahku ke sekolah perlu waktu sekitar 10 menit jika menaiki sepeda motor. Tetapi karena saat ini aku menaiki angkutan umum mungkin setidaknya perlu 15 sampai 20 menit karena (mungkin ini hanya perasaanku saja) bapak-bapak yang mengendarai angkot ini menggerakkan angkot dengan begitu lamban. Seolah sengaja untuk menjebakku berlama-lama di dalam sini. Sebenarnya tidak jadi masalah jika saja cowok di depanku ini tidak ada.

Mobil angkot melambat sebelum berhenti ketika ada seorang ibu-ibu yang membawa banyak belanjaan dari kejauhan yang hendak naik. Ibu-ibu itu langsung menyerobot masuk dan duduk tepat di samping kananku sehingga--

"Maaf Bu, pundak kanan dia lagi sakit. Hati-hati." Cowok itu langsung beranjak menghalangi ibu-ibu itu ketika pundak kirinya hampir mengenai pundak kananku. Aku menahan napas. Nyaris saja pundakku yang sakit menjadi sasaran lagi.

Ibu itu menekuk alisnya. "Yaudah, Mas. Masnya aja di sini biar saya yang di situ." cibirnya sedikit ketus.

Cowok itu mengangguk, mengiyakan.

Untuk kesekian kalinya dalam sehari aku mengembuskan napas panjang-sepanjang-panjangnya. Aku melirik sebentar dari ekor mata ketika cowok itu membantu memindahkan belanjaan si ibu sebelum duduk tenang di sampingku.

"Lo ngapain sih?" tanyaku pelan. Pertanyaan yang sama.

"Emang gue ngapain?" tanyanya balik. Aku langsung memutar bola mata.

"Serah lo deh. Cape gue."

Mobil angkot kembali bergerak. Bermenit-menit aku lalui dengan sesekali berkedip dan menghela napas pendek hingga sedikit lagi sampai tiba di perumahan rumahku.

"Perumahan depan, kiri bang." ucapku sedikit keras agar terdengar oleh bapak supir angkot.

Mobil melambat sebelum berhenti sempurna agak jauh dari perumahanku. Aku langsung keluar dari angkot dengan hati-hati. Memberi uang lembaran 5000an dan mengucapkan terima kasih lalu bergegas masuk ke dalam perumahan.

LAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang