🐏5🐏

204 27 8
                                    

Rasa cemas terus menghantui, membuatku terbangun dari tidur singkat ini. "Pa ..." Aku merangkak di antara kegelapan, celah pintu membuka peluang bagiku untuk mencari ayahku. Dalam gelapnya ruangan di tengah malam, aku terus mencari orang tuaku. Tidak bisa aku tidur dengan nyaman tanpa mereka.

Sayup-sayup suara orang sedang bicara kembali menggema dari balik lorong, membuat jantungku berdegup kencang. Berharap cemas kalau kondisi ayahku membaik, aku harus segera ke sisinya dan menemani dia. Terus merangkak, kurasakan sentuhan lantai yang dingin. Namun, itu tidak membuatku menyerah, terus saja maju demi berjumpa langsung dengan ayahku.

Terdengar suara O'Hare. "Sudah selesai. Jangan berbaring dulu, bersandar saja." Meski kurang memahami situasi yang terjadi, aku terus saja merangkak mencoba mendekati ruang tempat ayahku berada.

Meski ada cahaya dari ruangan di depan menjadi pemandu jalan, langkahku masih terasa berat. Belum pernah aku merangkak sejauh ini, tapi tidak ingin juga diriku berhenti. Tidak bisa aku tidur dengan tenang tanpa orang tuaku.

"Papa, Papa." Aku mengoceh dengan semangat. Meski bibirku tidak begitu mahir mengucapkan kata sebanyak orang dewasa, aku ingin sekali membuat suaraku terdengar jelas. Berharap ayahku dapat menyahuti panggilan ini.

Tiba dekat ruangan, aku sadar jika pintu masih tertutup, cahaya lampu di dalamnya menebus dari celah bagian bawah. Tanganku menyentuh pintu, berusaha meniru gaya orang dewasa saat mereka ingin pintu segera dibuka. Namun, tiada suara yang muncul saat tanganku bersentuhan dengan pintu. Harusnya dengan sekali tepukan sudah bisa membuat seseorang dari balik ruangan segera membuka pintu. Sia-sia upayaku, tapi ada cara lain agar keinginan ini segera terkabul. Orang dewasa biasanya cepat tanggap kalau aku melakukannya.

"Bah!" Aku berseru, jarang pula suaraku bisa sekencang ini. Namun, risikonya aku tidak bisa mengoceh lagi dalam waktu singkat. Lidahku seketika kelu, kehabisan tenaga.

Hening, bahkan suara O'Hare yang sedari tadi bicara pun tidak terdengar lagi. Aku sedikit bangga, berhasil sudah menarik perhatian orang dewasa dan menyampaikan keinginanku.

"Dia pasti susah tidur kalau tidak ada orang tuanya," ucap O'Hare, kudengar dia menghela napas. "Ah, sudahlah. Kau cukup kuat untuk mengurus bayimu sebentar?"

Jantungku berdegup kencang, berharap jika ayahku segera membuka pintu dan memeluk aku. Namun, yang kudengar hanya suaranya saja.

Suara yang kutunggu pun terdengar. "Dengan kondisiku seperti ini, aku tidak ingin membuatnya takut." Ayahku masih terdengar rapuh suaranya, tapi aku mengenali kesan lembut dari setiap ucapan yang dia lontarkan.

Aku dengan semangat mencoba untuk mengoceh, tapi bibirku tidak juga mengeluarkan suara. Kendali atas lidah dan pita suaraku begitu lemah. Ingin sekali aku menyahuti setiap ucapan dari orang tuaku. Hanya dengan bergumam, aku berharap setidaknya suaraku bisa didengar dari balik pintu.

"Anakmu tidak peduli itu," kata O'Hare. "Dia hanya tahu tentang dimanja saja."

"Bagaimana jika dia ketakutan melihatku seperti ini?" Terdengar suara ayahku sedikit bergetar saat mengucapkannya.

"Aku ulangi sekali lagi, bayi hanya tahu dimanja saja, dia mana peduli bentuk rupa orang tuanya," tegas O'Hare. "Kalau kau abaikan bayimu, dia tidak akan tidur sepanjang malam."

Keheningan menyambut. Aku yang belum begitu paham obrolan mereka hanya duduk diam depan pintu dengan penuh harap. Saat bibirku dirasa cukup kuat, aku mengerahkan seluruh tenaga untuk memanggil ayahku.

"Pa!" Aku berseru lagi, meski terdengar serak akibat dipaksakan, masih berharap terus agar dia kembali bersamaku.

"Nah, dia teriak lagi." O'Hare menanggapi. Namun, tidak ada balasan atas ucapannya. Membuatku resah.

Little Lamb AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang