"Papa pulang." Kalimat singkat yang selalu membuatku mengoceh riang. Beberapa waktu berlalu dalam keheningan yang menyiksa, kini dia kembali. Tidak sabar aku untuk merangkak dan memeluknya.
Namun, perut masih pedih menahan lapar. Aku meronta di tempat tidur, berupaya untuk merangkak keluar meraih ayahku. Pagar pembatas yang selalu menghalang, aku genggam erat pagar dalam upaya membebaskan diri. "Pa! Pa!" Aku berseru, memberitahu betapa laparnya diriku. Bagaimana cara mengucapkan katanya?
Papa meletakkan benda yang biasa dia pakai saat pergi ke ladang, aku belum memahami benda apa itu, tapi dia sering memakai guna memotong rumput. Dia melangkah mendekati tempat tidurku. "Sudah lapar?" Meski sedang tersenyum tipis, kulihat sorot matanya berbeda. Sejak awal kami tiba di lembah ini, aku sadar ayahku perlahan berubah pandangan matanya pada sekitar, meski tidak menghilangkan senyuman padaku.
"Nyu." Aku coba ucapkan keinginanku. Ingin minum susu.
Papa tersenyum tipis. "Mau susu?" Meski belum pernah bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas, aku senang saat orang tuaku memahami ocehanku. Mereka biasa membantu mengulangi kalimat hingga aku bisa mengucapkan dengan baik.
"Ay!" Aku angkat dan goyangkan kedua tangan, ingin menyusap wajah Papa yang masih menyisakan suasana muram. Bekas luka yang menghias wajahnya menambah kesan duka pada setiap tatapannya. Barangkali ada air mata tersembunyi di balik mata hijaunya yang harus aku usap, dia pasti masih sedih sejak kami pindah. Aku sendiri masih belum terbiasa dengan rumah baru ini. "Pa." Tentu saja, aku minta digendong dulu agar bisa menghibur ayahku.
Papa raih aku ke pelukannya. Aku baringkan kepala pada bahunya, mencoba memberi pelukan seperti biasa orang tuaku beri saat aku sedih. Dia tidak bicara, melangkah ke dapur sembari mengelus punggungku. Seperti biasa, saat petang tiba tepat di mana perutku kembali kosong, inilah saat kami menghabiskan waktu bersama. Sebelum pindah ke lembah, aku bisa minum susu tanpa harus menunggu, tapi rasanya lebih nyaman jika orang tuaku menemani. Sekarang ibuku tidak kunjung kembali, aku hanya bergantung pada ayahku. Papa siapkan sebotol susu sembari membiarkanku duduk pada lengannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia terus memandang susu yang dihangatkan pada wadah air. Menunggu cahaya merah memanaskan air.
"Wa." Aku coba sebut nama cahaya itu. Kucoba menunjuk, berharap ayahku memberi contoh cara mengucapkan kata itu lagi. Meski malam saat cahaya merah menguasai rumah, teringat lagi saat para serigala datang, tapi aku tidak gentar. Melihat Papa tampak tenang, kupikir cahaya yang ini tidak berbahaya. Sesekali aku alihkan pandangan dari susu yang dipanaskan dan ayahku. Tidak biasa kami menunggu tanpa mengucapkan sepatah kata.
Teringat lagi aku saat kami hidup di gunung, ibuku biasa menyusuiku tanpa perlu menunggu susu tadi dipanaskan. Ibuku tinggal langsung mendekapku, membiarkan aku meminum sembari terus bicara dengan lembut. Entah membahas tentang kehidupan di gunung maupun sekadar menyapa dengan senyuman. Papa biasa menemani di samping, terkadang mengelus rambutku sambil bicara pada ibuku. Aku selalu ingin kedua orang tuaku ada saat menyusui. Namun, begitu ibuku pergi suasana jauh berbeda. Dulu, selama menunggu Papa pulang, setidaknya ada seseorang mengajakku bermain sembari menikmati pemandangan di gunung. Sekarang hanya keheningan mengisi rumah.
"Papa." Aku coba bicara, menanyakan perasaan ayahku hari ini. Biasanya dia dan ibuku yang bertanya. Rindu rasanya melihat dia dulu begitu ceria setiap kali kami habiskan waktu bersama, terlebih dia selalu punya ide permainan yang seru bersama ibuku. Papa, aku amat merindukan Mama, tapi setidaknya kita masih bersama, bukan?
Papa tidak menyahut ocehanku, matanya masih tertuju pada susu yang dihangatkan dalam wadah air. Begitu uap air terlihat cukup, dia genggam botol lalu menuangkan susu.
Aku mulai tidak sabar, mencoba meraih susu segera meski tangan masih tidak mampu meraihnya. Nyaris saja terjatuh kalau saja Papa tidak menahanku di lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Lamb Adventure
Fantasía[Baby POV] Bayi kecil bernama Lamby jadi saksi tragedi yang merenggut nyawa ibunya. Sekelompok serigala menyerang keluarga dombanya, mengubah pegunungan yang dingin diselubungi cahaya merah. Ayahnya berjuang untuk menyelamatkan Lamby, membawa mereka...