Aku dekati luka bakar yang menghias wajah ayahku. Meski terasa kasar begitu bersentuhan dengan jari, pancaran hangat darinya masih sama. Papa terlelap, tapi tangannya yang dipenuhi bekas cakar masih melingkari tubuhku, mencegah aku merangkak lebih jauh dari sisinya. Sudah beberapa waktu berlalu sejak dia tidur, aku masih duduk memandangi, menjaga seperti yang dia lakukan padaku. Meski suasana sunyi terkadang membuatku merasa hampa, setidaknya Papa masih menemani.
"Papa." Aku tersenyum sembari mengelus matanya yang penuh cakar dan luka bakar. Meski kulihat tadi mata hijaunya tampak lebih pucat, masih memantulkan kelembutan begitu pandangan kami bertemu. Aku pikir dia merasa sakit akibat luka ini, maka kuelus wajahnya, berharap sedikit menenangkan ayahku setelah kejadian semalam.
Teringat malam kemarin melihatnya dipenuhi cairan merah, bau anyir berpadu dengan bau asap masih tercium jelas seakan aku kembali pada kejadian tadi. Luka bekas racun beriringan dengan sentuhan dari api yang kini telah membuat sebagian kulitnya menghitam, mengubah rupa ayahku. Meski tidak seburuk semalam, tapi membekas hingga membuat dia tampak berbeda. Barangkali ini juga membuat Papa sedih selama beberapa waktu terakhir.
Kepergian ibuku kembali menghantui pikiran, meski sedikit menerima kenyataan jika dia tidak lagi bisa bersama kami, dalam lubuk hati masih tersisa kerinduan akan suara lembut dan kasih sayangnya. Jika dia masih di sini, mungkin akan duduk pada samping Papa sembari mengelus dahinya. Teringat dahulu, pernah ibuku meletakkan aku pada sisi Papa yang tengah terlelap guna membangunkannya. Begitu suara riang keluar dari bibir, ayahku terbangun dan kami tertawa bersama.
Kutatap sekeliling, kali ini saja berharap ibuku akan kembali. Namun, sejak semalam aku merasa dia tidak akan menjemput, entah apa yang telah memisahkan kami. Tatapan dari wajah pucatnya kembali menghantui pikiran, aku tidak mengerti apa yang terjadi waktu itu. Meski raganya hanya tersisa sebagian, aku masih mengenali ibuku. Namun, saat itulah aku sadar jika dia tidak lagi menyahut suaraku. Ingin lagi aku mengoceh memanggil, tapi lidah terasa kelu. Ibuku tidak akan kembali.
Aku pandang kembali wajah Papa yang tengah terlelap, kusentuh kembali kulitnya yang kasar dipenuhi bekas luka, teringat akan wajah pucat ibuku yang tidak lagi menyahuti ocehan dariku. Barangkali sekarang Papa juga akan meninggalkanku.
"Ta ..." Suaraku pelan di tengah ruangan yang sunyi diiringi helaan napas Papa. Dari raut wajah ayahku, beberapa waktu terakhir, aku rasa Papa juga merasakan duka yang sama denganku.
Papa tetap menutup mata, tidak bergerak sedikit hanya sekadar untuk menanggapi panggilanku. Aku teringat akan ibuku, takut jika Papa akan melakukan hal yang sama.
"Pa ... Pa." Aku tepuk pelan wajahnya, berharap dia segera membuka mata dan menyahut ocehanku.
"Lagi jaga Papa, ya?" Suara lembut dari Nyonya O'Hare kembali terdengar, wajahnya yang memancarkan senyuman lembut muncul dari balik pintu. Dia melangkah mendekat.
Aku merapatkan diri ke sisi Papa yang masih terlelap, niat ingin menjaganya agar kami tidak dipisah lagi. Posisiku sedang duduk menghadap wajah Papa, aku peluk wajahnya, melindungi dia dari apa pun yang mencoba mendekat. Kepalaku menoleh ke belakang dengan tatapan tajam, memberitahu Nyonya O'Hare kalau kami harus bersama selalu.
Nyonya O'Hare berhenti di sisi kasur, tepatnya di belakang tubuhku. "Lamby tidak mau main bareng sebentar?"
Aku memeluk wajah Papa yang terlelap. Tidak, aku tidak mau.
"Padahal Holly sudah menunggu, lho." Nyonya O'Hare masih saja membujuk. Meski aku tidak tahu pasti nama yang dia sebut, kutebak itu bayi bertelinga panjang yang malam itu terlelap di kamar sebelumnya.
Aku masih pada posisi yang sama, melindungi Papa sembari berlindung di balik pelukannya. Tangan dia masih melingkari tubuhku, tanda dia menjaga aku meski dalam tidur. Walau keluarga O'Hare sudah memberi tempat berlindung dan suasana aman, tetap tidak ingin jauh dari Papa lagi.
"Kalau Lamby masih mau jaga Papa, tidak apa. Namun, dokter nanti mau periksa Papa sebentar. Nanti kamu bisa kembali bersamanya habis ini." Nyonya O'Hare bergerak mengelus punggungku, tapi aku masih memeluk wajah ayahku.
Aku sentuh wajah Papa yang dihiasi bekas luka, goresan cakar menutupi sekitar mata memberi kesan seakan ayahku masih sakit. Aku elus kembali wajahnya, tidak ingin menjauh apa pun yang terjadi.
Kudengar suara pintu terbuka, kali ini bersama suara helaan napas yang kukenal, jenis bunyi yang biasa diucapkan seorang saat merasa lelah. "Dia masih lengket pada ayahnya?" O'Hare kini melangkah mendekati sang istri sembari membawa beberapa bungkus benda yang kemudian dia letakkan di meja samping kasur.
"Dia masih malu-malu." Nyonya O'Hare menjawab.
"Ya, sudah." O'Hare mengambil piring bekas sarapan ayahku tadi. "Baguslah kalau dia sudah makan dan istirahat. Aku ceritakan tadi kisahnya pada kepala desa ini."
"Apa katanya?" Nyonya O'Hare kini berbalik dan fokus pada suaminya.
Aku, meski tengah melindungi Papa, sedikit mengalihkan perhatian pada kedua pasangan itu. Meski tangan masih bersentuhan dengan wajah ayahku.
O'Hare mengangkat bahu, matanya justru tertuju pada Papa yang terlelap. "Dia tampak tertarik begitu tahu kalau Lambert berasal dari keluarga domba, barangkali karena sejenis dengannya juga."
"Sama-sama bertanduk?" Nyonya O'Hare menebak.
O'Hare mengiakan. "Kutawarkan kalau dia mau menitip sejumlah pertanyaan untuk Lambert nanti. Namun, katanya dia akan menjenguknya sebentar lagi. Hanya sekadar melihat sepintas sebelum nanti bertanya langsung padanya."
Nyonya O'Hare melirik Papa, sementara aku masih duduk di sisinya, menyentuh wajah ayahku. "Kuharap kepala desa masih berbaik hati, keluarga domba ini sudah berjasa bagiku. Keluarga kepala desa juga, tapi ayahnya Lambert yang membawa kami ke lembah ini dengan selamat sejak awal. Kini, hanya dua yang tersisa di antara mereka."
"Biarkan bayi itu tetap di sini, mereka akan baik-baik saja." O'Hare kembali melangkah ke pintu. "Sebentar lagi dia akan menjenguk dan bicara empat mata dengannya."
Nyonya O'Hare mengikuti langkah suaminya, sebelum menutup pintu dia tersenyum. "Jaga Papa-mu, ya." Suasana kembali hening, tapi sedikit lega aku kalau kami tidak terpisah.
Pandanganku kembali pada Papa, dia masih terlelap. Ingatan akan ibuku terakhir kali terlihat kini menggelayut pikiran. Walau raga Papa masih memancarkan rasa hangat seperti biasa, tapi kenangan akan kulit dingin ibuku masih tertancap kuat pada pikiran. Takut jika kedua orang tuaku tidak akan kembali.
Aku gelisah, bergumam dengan harapan bisa mengangkat beban hati yang terasa mengikat sejak semalam. Papa masih lemah, bahkan tidak lagi tampak seperti sosok yang selama ini menjagaku, terbaring dengan mata tertutup, tidak menyahuti ocehanku sedari tadi.
Kembali mengelus luka pada wajah Papa, berharap cemas dapat menghilangkan rasa sakit yang menggerogoti raganya. Walau tidak tahu pasti cara merawat orang yang sedang sakit, hatiku dipenuhi tekad untuk membantu ayahku kembali ceria seperti sedia kala. "Papa ... Ta..." Aku bicara padanya, meski belum mampu mengeluarkan banyak kosa kata. Aku ingin berkata, "Papa harus sembuh, aku ingin kita bermain lagi."
Tidak ada sahutan darinya, tapi aku masih terus mengelus wajah Papa. Meniru cara yang biasa dia dan ibuku lakukan bila aku sakit, biasanya aku merasa lebih baik dan segera sembuh setelah itu. Barangkali dengan cara ini bisa membantu ayahku pulih.
Suara pintu terbuka segera mengalihkan perhatianku. Begitu mata tertuju pada sosok yang membukanya, jantung berdegup kencang. Sosok itu tinggi besar lengkap dengan tanduk memanjang, kembali terbayang sosok serigala yang nyaris menerkamku semalam. Tangisku pecah, memohon kepada Papa agar segera bangkit.
Waduh, mulai sedikit anu dikit walau gak terlalu sih untuk standar Kiprang. Nah, berhubung sekarang udah dekat Halloween maka aku tidak akan melakukan apa-apa. Hanya itu infonya, ya.
Sampai jumpa di bab berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Lamb Adventure
Fantasia[Baby POV] Bayi kecil bernama Lamby jadi saksi tragedi yang merenggut nyawa ibunya. Sekelompok serigala menyerang keluarga dombanya, mengubah pegunungan yang dingin diselubungi cahaya merah. Ayahnya berjuang untuk menyelamatkan Lamby, membawa mereka...