🐏12🐏

148 23 9
                                    

"Oh, Holly, tidak apa. Ini hanya Paman Lambert." Nyonya O'Hare mendekap bayi bertelinga panjang itu, dalam lingkaran tangannya, dia ayunkan bayi itu dengan pelan. Tangisan bayi itu mereda, berganti dengan suara kecil yang gemetar. Tangan kecil itu memeluk leher sang ibu sementara telinga panjangnya menunduk turun.

O'Hare tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat melihat putrinya ketakutan. Dia terus membimbing ayahku untuk duduk. Setelah aku dan Papa duduk bersama, barulah dia dekati istrinya yang mencoba menenangkan anak mereka.

"Tidak apa-apa." Nyonya O'Hare tersenyum pada kami sementara bayi itu masih meringkuk dalam pelukan ibunya. Sementara sang ayah hanya mengelus punggung bayi itu tanpa berkomentar.

Kupandang kembali Papa, wajahnya masih muram tanda dia belum pulih dari duka sepenuhnya. Teringat malam itu kala aku dilanda takut begitu memandang wajah baru ayahku, tapi saat itu juga sadar kalau dia masih ingin bersamaku. Meski penampilan berubah, dari hati aku percaya dia masih sosok yang sama. Melihat reaksi orang lain pada wajahnya, barangkali Papa juga tidak nyaman.

Papa butuh dipeluk. Aku coba bergerak memanjat dari pelukannya, kedua tangan melingkari leher ayahku. Sentuhan hangat kulitnya masih sama, walau sedikit kasar karena penuh bekas luka bakar dan cakar. Begitu jantung kami berdampingan, terdengar detak jantung ayahku berdegup tenang, tapi tidak dengan sorot matanya. Kurasakan tangan Papa mengelus punggungku, dia cium pucuk kepalaku. Tanpa berkomentar, sementara suasana ruang makan hanya diisi tangisan kecil dari bayi bertelinga panjang itu.

Aku pandang bayi itu, masih berlindung pada ibunya. Meski Nyonya O'Hare pernah bilang jika kami sebaya, tubuh dia lebih kecil dariku, seperti orang tuanya dari sudut pandang Papa. Kami berbeda jenis, itu pula membuat mereka terlihat beda dari orang dewasa yang selama ini kulihat di gunung. Bayi itu mulai tenang, kembali memandang kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Meski tampak menghindari tatapan yang mengarah pada Papa.

"Tidak apa-apa, Paman Lambert baik, kok." Nyonya O'Hare mengulangi kalimat yang sama untuk menenangkan dia, memperkenalkan Papa sebagai sosok yang tidak perlu ditakuti. Namun, bayi itu masih berpegangan pada leher ibunya, menutup mata.

Aku mengerti jika rasa takut itu timbul saat melihat wajah tak dikenal di depan mata para bayi seperti kami. Terlebih luka yang menghias raga Papa membuat dia lebih asing dibandingkan orang dewasa yang biasa terlihat. Namun, saat itu juga aku mengenali ayahku dari tatapan lembutnya. Jika bayi itu berada di posisiku, barangkali ketakutannya hanya berlangsung sesaat. Dia akan merasakan kehangatan terpancar dari kulit yang terselimuti luka itu.

"Udah, ya. Tuh, malu sama Lamby." Nyonya O'Hare menunjuk aku yang berada di pelukan Papa, sementara bayi itu masih memandang sang ibu diiringi tangisan kecil. "Lihat, dia saja tidak takut digendong Paman Lambert."

Kupandang Papa, terlihat senyuman tipis terukir di wajahnya yang dihiasi bekas luka. Barangkali karena ucapan Nyonya O'Hare, atau sekadar memberi kesan aman pada bayi itu. Satu hal yang pasti, aku tahu ayahku akan selalu menyayangi dan melindungi aku. Itu pula alasan mengapa diri ini selalu ingin di sisi Papa bersama ibuku.

"Dia tidak takut karena itu ayahnya," sahut O'Hare, tangannya masih mengelus punggung bayi itu. "Sebaiknya mereka bermain bersama. Sudah kubilang, Holly belum terbiasa dengan lingkungan luar rumah, dia belum pernah melihat orang dewasa yang baru berurusan dengan serigala."

Papa diam saja, dia eratkan pelukan. Aku dengarkan detak jantungnya berdegup kencang, tanda dia tidak nyaman saat mendengar ucapan O'Hare. Aku balas dengan menyentuh dadanya, niat ingin menenangkan hati yang gelisah.

"Itu bisa mengajarinya untuk mengenal orang lain." Nyonya O'Hare menyahut sambil menepuk pelan kepala bayi yang lengket di pelukannya. Dia kembali menatapku. "Ayo, Lamby, main sama Holly."

Little Lamb AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang