05. Moments of Radiance

0 0 0
                                    

Senyum Leona tak kunjung pudar sejak pulang dari sekolah. Di depan kelasnya, Theo menanti dengan sabar, siap mengantarnya pulang. Dengan jaket hitam yang membalut tubuhnya dan motor berwarna senada, sosoknya terlihat begitu menawan di mata Leona. Sesekali, Leona mencuri pandang ke cermin spion, terpesona oleh ketampanan Theo saat ia mengendarai motornya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Leona dengan selamat. Theo memarkir motornya di samping motor putih Leona dan melirik sekeliling perumahan itu, tampak tenang namun penuh rasa ingin tahunya.

"Jarak rumah lu dari sekolah deket juga, ya?" tanya Theo, suaranya lembut namun jelas.

"Syukurlah. Rumah lu di mana?" balas Leona, merasa ingin mengenal lebih dekat.

"Di daerah sini juga, sekitar satu komplek lagi dari sini," jawabnya sambil tersenyum, membuat Leona merasa hangat di dalam hati.

Leona mengangguk, merasakan kedekatan yang menghangatkan hatinya.

"Besok, nggak usah bawa motor ke sekolah. Kita bisa berangkat dan pulang bareng," ujar Theo dengan nada santai, seolah mengundang kesempatan untuk lebih dekat.

Leona terkejut, matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan tawaran itu. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, tampak canggung.

"Gak repotin, kan?" tanyanya ragu.

"Gak sama sekali," jawab Theo tegas, menampakkan senyumannya yang menenangkan, seolah semua keraguannya lenyap seketika.

Leona mengangguk, senyumnya merekah, menyebarkan rasa bahagia di hatinya.

"Oke, kalau begitu. Gue mau berangkat dan pulang bareng lu."

Mendengar jawaban Leona, wajah Theo seolah bersinar. Ia membalas dengan senyuman lebar yang membuat jantung Leona berdebar lebih cepat.

"Kalau setengah tujuh gua sampai sini, gapapa? Atau terlalu pagi?"

"Gapapa. Gue selalu berangkat jam setengah tujuh," jawab Leona, tak sabar menanti hari esok.

"Baiklah." Theo menyalakan mesin motornya, suara bisingnya membuat suasana semakin hidup.

"Sampai jumpa besok, Leona," kata Theo sebelum melaju.

Leona melambaikan tangannya dengan ceria, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Sampai jumpa besok, Theo!"

Theo melaju menjauh dari rumah Leona, hingga sosoknya menghilang di tikungan. Leona menepuk-nepuk pipinya yang berisi, tak percaya bahwa lelaki ganteng seperti Theo kini mengajaknya berkenalan. Kegembiraannya membuatnya tersenyum-senyum sendiri, bahkan beberapa orang yang melintas di kompleks rumahnya meliriknya dengan tatapan aneh.

Dengan perasaan berbunga-bunga, Leona membuka pagar rumah dan memasukkan motor putihnya ke dalam. Bayangan bagaimana rasanya dibonceng oleh Theo berputar di pikirannya, membangkitkan semangat dan harapan akan hari esok yang penuh warna. Setiap detik menunggu menjadi semakin berharga saat ia merasakan benih-benih cinta yang baru mulai tumbuh.

***

Sosok tak diundang muncul di rumah Leona, membawa dua tas besar yang tampak penuh sesak. Satu tas berisi baju dan peralatan mandi, sementara yang lainnya penuh dengan buku-buku sekolah.

Siapa lagi kalau bukan Lani? Teman dekat Leona itu memang sering muncul dengan spontanitas yang kadang bikin geleng kepala.

"Lu gak ada tempat lain buat nginap?" Leona menatap Lani yang sudah nyaman berbaring di kasurnya, bahkan tanpa permisi lebih dulu.

"Gak ada, Na. Rumah ortu gue kejauhan, lagian semalam gue mimpi horror," jawab Lani santai, sambil memeluk bantal.

Leona mendesah, tapi kali ini dia pasrah. Sejujurnya, nggak ada ruginya juga Lani nginap.

The Full Moon's Secret: A Tale of October and MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang