12. Warmth on the Court and the Comfort of Home-Cooked Meals

3 0 0
                                    

Level six one!

Leona mulai merasakan tubuhnya melemah. Kakinya terasa semakin berat, setiap langkah seakan membawa beban yang tak tertanggungkan. Napasnya tak lagi teratur.

Sementara di sampingnya, Theo tampak tenang, seolah olahraga ini bukan apa-apa baginya. Dengan tubuh atletisnya yang dipenuhi keringat, Theo bergerak dengan lincah, menunjukkan kekuatan fisik yang terasah selama bertahun-tahun.

"Theo..." lirih Leona, berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk berbicara. Theo meliriknya dan langsung tahu, Leona sudah mendekati batasnya.

"Lu udah gak kuat, Na? Gak usah dipaksa, ya," ucapnya lembut, nada suaranya mencerminkan perhatian yang tulus.

Leona menggeleng lemah.

"Bentar lagi, gue kuat kok."

Level six five!

Namun, Leona tahu tubuhnya sendiri, dan akhirnya ia menyerah. Dengan satu hembusan napas berat, ia menjatuhkan diri di pinggir lapangan.

Napasnya terengah-engah, tubuhnya lunglai, tetapi di dalam hati ia merasa lega. Kakinya berdenyut nyeri, dan ia tahu esok pasti akan ada harga yang harus dibayar. Kram kaki dan pegal-pegal yang tak terhindarkan.

Sambil duduk, Leona memperhatikan Theo yang masih berlari tanpa tanda-tanda kelelahan. Keringat mengalir di wajahnya, tapi dia tetap fokus dan gigih. Leona tak bisa menahan senyum kagum. Cowok ini benar-benar luar biasa. Badannya yang kuat dan disiplin latihan pasti sudah terbentuk selama bertahun-tahun.

Start level twenty one!

Mata Leona melebar tak percaya.

"Seriusan? Gila, Theo masih lanjut?!" bisiknya pada diri sendiri, takjub.

Setelah beberapa putaran lagi, Theo akhirnya berhenti. Dia berjalan santai menuju Leona, duduk di sampingnya, meneguk air dari botolnya hingga habis. Leona dengan cepat mengambil handuk dari tas olahraga Theo dan menyerahkannya.

"Theo sampai level berapa?" tanyanya, masih terengah-engah.

Theo masih berusaha mengatur napas.

"Dua puluh, lima," jawabnya dengan tenang.

Leona bertepuk tangan heboh, matanya berbinar penuh kekaguman.

"Lu keren banget! Gua aja cuma sampai level enam!"

Theo tersenyum kecil.

"You're doing great, Na. Level enam itu udah lumayan kok, buat pemula."

Leona mengangguk, masih terkesima.

"Gimana caranya biar bisa sekuat lu?"

Theo tertawa kecil.

"Just practice, Na. Yang penting itu lu gak bandingin diri sama orang lain. Fokus aja sama perkembangan lu sendiri."

Leona terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Theo. Lalu, ia bangkit berdiri dan berjalan mengambil speaker Bluetooth dan ponsel mereka yang tergeletak di ujung lapangan.

"Abis ini main basket, kan?" tanyanya, wajahnya menunjukkan harapan.

Theo mengangguk. Tetapi, Leona menatap Theo dengan ragu.

"Lu masih kuat gak? Gue takut lu udah capek..."

Theo tertawa lagi, kali ini lebih keras.

"Capek? Gua cuma beep test, Na. Bukan mendaki gunung."

Leona mengangguk sambil tersenyum. Sambil menunggu energi mereka kembali, Leona mulai bercerita tentang pengalaman beep test pertamanya waktu SMP. Dulu, dia hanya bisa mencapai level lima, dan sekarang dia merasa luar biasa karena bisa melampaui itu. Dia juga mulai mengajukan berbagai pertanyaan ke Theo tentang kapan cowok itu mulai suka basket.

The Full Moon's Secret: A Tale of October and MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang