02. An Unexpected Message

8 0 0
                                    

Leona dan Lani meneguk air mineral mereka hingga tetes terakhir, rasa segar menjalar ke tenggorokan yang kering setelah berdiri di bawah terik siang selama dua jam. Udara panas yang menyengat membuat setiap tetes air terasa begitu berharga.

"Gila, ya. Guru itu kayaknya niat banget bikin kita mati kehausan," keluh Lani sambil mengembuskan napas lega setelah menghabiskan air minumnya.

Leona mengangguk setuju, meski wajahnya sedikit pucat.

"Gue juga hampir tumbang, Lan. Anemia gue kambuh."

Seketika, Lani menatap Leona dengan mata penuh kekhawatiran.

"Kenapa lo gak istirahat aja dari tadi? Kalau anemia lo makin parah gimana?"

Leona terkekeh kecil, berusaha meredakan ketegangan. Dia mengangkat lengan kecilnya dan memperlihatkan otot tipis yang hampir tak terlihat.

"Gue kuat kok. Buktinya masih berdiri tegak sampai sekarang, kan?" ucapnya sambil tersenyum.

Lani mendecak kesal, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa sayangnya.

"Lo selalu aja ngegampangin kesehatan lo."

Leona tertawa lebih keras, walau tetap dengan nada santai yang khas.

"Serius, gue baik-baik aja. Kalau gue tumbang, lo tinggal panggil Papi dan Mami, gampang, kan?"

Lani menghela napas, akhirnya tersenyum kecil.

Tanpa mereka sadari, dari belakang, Rian mendekat dengan senyum penuh rencana. Dia mengintip sebentar sebelum tiba-tiba menyentuh bahu keduanya dan berteriak kencang, "DOR! KUCING OREN!"

Leona dan Lani terlonjak kaget. Suara teriakan itu menggema di udara yang panas, sementara Rian sudah terbahak-bahak, puas melihat reaksi keduanya.

"Kaget banget sih kalian! Gua baru teriak segitu doang, loh," kata Rian sambil menahan tawa, tangannya memegangi perut.

Leona dan Lani serempak menoleh, menatap Rian dengan sorot mata tajam, penuh jengkel.

"Gak lucu, Yan! Semua orang ngeliatin kita," gumam Lani, wajahnya memerah karena malu.

Rian mengangkat bahu, tak peduli sedikit pun.

"Kan yang dilihat kalian, bukan gua."

Leona, yang sudah kesal sejak tadi, mengangkat tangannya, siap menampar Rian.

"Gue tampol lo, Yan!"

Rian mundur cepat, takut terkena pukulan Leona yang terkenal 'mematikan'. Meski biasanya ia senang bercanda kasar, tapi kali ini, dia tahu betul Leona tidak main-main.

"Oke-oke, ampun! Maaf! Gua gak ulangi lagi, sumpah!" Rian mengangkat tangan, memohon ampun dengan ekspresi penuh penyesalan.

Leona dan Lani saling berpandangan, lalu tersenyum jahil. Sebuah ide untuk membalas kejahilan Rian muncul di benak mereka.

"Lo mau dimaafin?" tanya mereka serempak.

"Mau banget!" Rian mengangguk cepat, merasa lega.

"Beliin kita mie ayam Pakde," jawab mereka tegas, tanpa kompromi.

Rian terdiam, menatap kedua gadis itu dengan mata tak percaya.

"Harus mie ayam Pakde?"

Leona dan Lani menatapnya tajam, ekspresi mereka jelas-jelas tak bisa ditawar.

"Iya, harus!"

Rian menghela napas panjang. "Mie ayam Bude gue gak bisa, ya?"

"RIAN!" seru mereka bersamaan.

The Full Moon's Secret: A Tale of October and MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang