6. Cewek gila

40 5 0
                                    

Sepanjang jalan, Nakula terus memikirkan perkataan laki-laki misterius yang ia temui tadi. Aneh, menurutnya. Tapi ada benarnya juga apa yang dikatakan pria tersebut.

"Neng ini sesuai titik antar kan ya?"

"Eh, iya pak. Itu tinggal belok di pertigaan ya, rumah saya ada di deretan paling awal."

"Oke neng."

Sangkin larutnya ia dalam pikiran, ia sampai lupa sebentar lagi ia sudah sampai dirumahnya.

"Terimakasih ya pa. Saya masuk duluan, Hati-hati dijalan."

"Sip, makasih banyak ya neng."

Nakula masuk dengan langkah yang gontai. Perasaannya dipenuhi rasa kecewa pada kakaknya, Sadewa. Bagaimana tidak?

Nakula dan Sadewa sudah hidup tanpa figur kedua orang tua sejak usia mereka masih belia. Kala itu, Sadewa berusia dua belas tahun dan Nakula berusia enam tahun. Ayahnya meninggal karena kecelakaan, kemudian diikuti ibu nya tiga hari kemudian yang mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak kuat akan kehilangan suaminya.

Semenjak itu, mereka tinggal bersama nenek dan kakeknya, lalu pada saat Sadewa lulus sekolah, ia berniat mengajak adiknya pindah kerumah yang hanya ditempati mereka berdua.

Sadewa selalu berusaha terlihat ceria di hadapan adiknya, serta bagian keluarganya yang lain. Namun tidak dengan Nakula. Ia lebih sering terlihat murung dan hanya akan banyak berbicara pada orang yang menurutnya cocok untuk dijadikan teman bercerita.

Sadewa sudah disibukkan oleh kegiatan nya, yaitu sebagai bagian dari band yang terdiri dari tiga orang. Sebetulnya, kemahirannya dalam bermain musik sudah ditunjukkan oleh Sadewa sejak ia masih belia, dan kemudian ia asah kembali hingga sekarang ia bisa memiliki anggota band nya sendiri dan dikenal cukup luas.

Tapi, imbas buruk menimpa Nakula. Banyak yang mengira bahwa Nakula senang menerima kenyataan bahwa kakaknya adalah anggota dari band yang di agumi masyarakat apalagi para wanita.

Seperti halnya saat ini, ketika ia baru saja mau memasuki rumah, kepalanya terasa nyeri karena tertimpuk sebotol kaleng soda,

"Asu." Umpatnya seketika, kemudian ia membalikkan badan untuk melihat siapa yang berani melakukan hal tersebut padanya, "Woy, kurang ajar. Maksud lo apa kaya gitu? Hah?"

"Eh, elo yang kurang ajar. Berani-beraninya lo ya masuk ke pekarangan rumah cowok gue."

"Siapa cowok lo, cewek gila?!"

"WOY? LO NGATAIN GUE?"

"Iya, lo. Cewek gila, sinting, tolol, gak punya etika."

"Wah berani-beraninya lo ngatain gue, lo gak tau gue ini siapa?"

"Gak penting. Gue bingung, kok bisa sampah masyarakat kayak lo masuk kesini. Pergi, atau gue panggilin anjing buat gigit lo."

"Gak salah? Harusnya lo yang pergi. Udah kaya maling lo. Gak malu? Masih sekolah udah mau jadi maling, duh gue sih malu."

Nakula tidak habis pikir, sampai kapan hama seperti ini akan terus mengganggunya. "Pergi. Sekarang."

"Lo siapa berani ngusir gue?"

"Lo ngerti bahasa manusia gak sih?"

"Ngerti lah. Gue kasih tau gue ini pacarnya Sadewa. Lo gak usah sok deh."

"Ya terus kalo lo pacarnya kenapa gak tau gue ini siapanya Sadewa?"

"Lah emang siapa? Lo sama kan kaya gue? Fans nya?

"Dasar orgil."

Nakula pergi meninggalkan perempuan itu dan memasuki rumahnya dengan mengunci pintu rapat rapat. Ia menghembuskan nafasnya berat sekali, "Gue cuma pengen tenang, sumpah."

Nakula berjalan gontai ke arah meja makan, kosong, tidak ada apa apa, simbok yang biasa membereskan rumah dan menyiapkan makan masih dengan cutinya untuk mengurus anak nya di kampung halaman. Yang tersedia kini hanyalah beberapa makanan instan di dalam lemari penyimpanan makanan instan.

Krukkk.... Krukk....

"Et dah, laper banget gua. Mau masak tapi udah ga ada tenaga. Sadewa pulang cepet gak ya?"

Ketika Nakula hendak membuka room chat Sadewa yang belum ada balasan apapun, ia jadi teringat,

"Oh ya, Band nya kan lebih penting daripada gue." Nakula berujar dengan wajah putus asanya, tak lama, dering dari ponsel nya pun berbunyi,

Tidak, bukan Sadewa. Tapi Mbah Uti nya yang menelpon Nakula. Tentu saja Nakula angkat dengan rasa gembira yang menggebu,

"Halo putune aku sing ayu dewe, mbah uti kangen nemen karo koe, primen kabare? Ckckck, simbah utine kangen koh ya nang kene, koe ora ana niatan netep nang kene kado simbah uti?"

(Halo cucu perempuan ku yang paling cantik, gimana kabarnya? Ckckck, nenek mu kangen loh ini disini, kamu gak ada niatan menetap disini lagi sama nenek?)

Nakula tertawa kecil mendengar nya, "Halo mbah Uti, aku kangen banget juga loh sama mbah Uti. Udah lamaaaaa banget rasanya nggak ketemu mbah Uti, kalo ketemu, aku mau peluk mbah Uti yang lamaaaaa sekaliiiii."

"Tuh kan benar, kata mbah Uti. Uwis pancen bener kie angger koe netep nang kene bae karo mbah uti."

(Memang sudah paling benar kalo kamu tinggal disini saja sama mbah uti toh)

"Hehe, semua tergantung mas Sadewa mbah. Aku kan hanya ikut saja."

"Hadeh, Putuku yang satu itu juga, mana dia? Kok nda keliatan Yu. Mbah Uti telfonin dia dari tadi juga nda aktif."

Oh ya, Mbah Uti lebih suka memanggil Nakula dengan sebutan Ayu, selain itu bagian dari nama Nakula Dahayu, tapi juga karena artinya adalah cantik.

"Biasa, Mas lagi ngeband, Mbah."

"Ealah, Uwis peteng-peteng koyo mgene Dewa masih nge-band tah?"

(Sudah malam begini)

"He-em, Mbah. Ah ya, Mbah Uti sudah makan malam? Gimana kabar Mbah kakung, Ti? Tumben nda terdengar suaranya."

"Sudah, dong. Mbah Uti sudah makan malam tadi sama kakung mu. Mbah akunge koe ora arep ngomong. Katanya bilangin ke putune sing ayu dewe, doi lagi ngambek, karena kamu nda pulang-pulang kesini."

(Kakekmu Nggak mau ngomong.)

"Mbah akung sudah tua pun tetap tidak habis-habisnya berdrama ya, Ti. Hahaha."

"Memang, Uwis arep mbiyene kaya kue. Kamu sendiri gimana Yu, sudah makan malam?"

(Sudah dari muda dia begitu)

"Sudah, Mbah Uti."

Bohong... Nakula berbohong kesekian kalinya pada neneknya hanya supaya Sadewa tidak dimarahi olehnya.

"Yang benar kamu? Awas ya kalau bohong. Mbah Uti langsung Otiwi loh kesana buat njitak mas mu."

"Jangan dong, Ti. Aku beneran Uwis mangan kok, wuenak tenan. Aku makan pake ayam geprek tadi."

(Sudah makan)

"Yasudah kalau begitu, mbah tutup ya telepon nya, kamu baik baik disana loh ya."

"Nggih, Mbah Utiku yang cantik sekeraton."

"Alah, Bise bae koe ngegombal."

(Bisa aja kamu ngegombal.)

"Hehehehe, dah Mbah Uti. Sehat sehat ya, bilang ke Mbah akung, jangan lama lama ngambeknya, memangnya nda kangen sama Nakula Dahayu sing paling ayu iki?"

"Sip, nanti mbah sampaikan. Dah, Ayuuuuuuuu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Band-itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang