Malam pertama

44.3K 514 2
                                    

"Ra, lo dimana?" Saat panggilan telpon di angkat oleh sebrang. Hal pertama di tanya yaitu ke beradaanya. Tanpa basa-basi ini dan itu.

"Eh, gue di samping kamar lo." Jawab Ara dengan kaget. Karena rasanya dia baru tidur. Setelah berpisah dengan Bundanya dan tidur dengan beberapa sepupunya di kamar hotel tepat di samping kamar pengantin. "Lo. Abang gue nakal?" Pertanyaan yang tidak uampeda terdengar.

Pija mengelengkan kepalanya walau adik iparnya tidak melihat jawaban gelengannya. Karena setelah Pija melepas baju pengantin yang ribet dan tentu di bantu oleh suaminya. Pija Mandi lalu selesai lebih dulu dan sedangkan suaminya atau Bang Al baru saja mandi. "Engga gitu."

"Terus?"

"Hm, gue mau ke kos ambil skripsi gue. Gue mau belajar."

"Ja, lo ngga lihat jam?"

Ara melihat jam pada ponselnya. Sedikit meringis karena jam sudah menujukan pukul 12 malam. "Cuman ambil saja ko."

"Lo sekarang punya suami Ja. Lo bisa minta tolong dengan Abang. ---"

Kalimat Ara tidak di dengar lagi. Saat menyaksikan pemandangan indah yang baru saja keluar dari kamar mandi. Abang Al hanya melilitkan handuk di pusar dan hanya sampai menutupin lutut.  sedangkan tangan Abang yang satu sibuk mengusap handuk kecil di rambut basahnya.

Pertama kali Pija seakan terhipnotis. Perut kotak-kotak mengiurkan yang tersusun 6 bagian, lengan kokoh, bahu lebar, sungguh semua hal itu jadi favorit Pija. Bang Al sudah berbalik  badan untuk memakai pakaiannya. Tapi, tetap saja mata Pija tidak bisa di alihkan. "PIJA..." Ara berteriak dari sebrang. Membuat Pija kaget lalu berdehem untuk menetralkan semuanya. Bagaimana Pija tidak kaget karena ponselnya masih di simpan di telinganya lalu mendengar suara teriakan. "Lo masih disana?"

"Hmm iya."

"Lo ngapain? Lama banget jawabnya. Lo lagi enak-enak yah sama Abang gue?"

"Haa." Bukan godaan Ara yang buat kaget Pija. Tapi, gerakan tempat tidur di sampingnya.

"Siapa?" Tanya Bang Al yang sudah mensamakan posisinya dengan Pija yang itu sama menyandar di kepala tempat tidur dengan kaki lurus di tutupin oleh selimut. Aroma sabun mandi yang sungguh mengiurkan. Mengelitik ingin di nikmatin lebih lama.

Pija masih menormalkan detak jangtungnya karena sedekat ini dengan Abang. Lalu menjawab pertanyaan Bang Al dengan memperlihatkan layar ponselnya yang nyala dan nama tertera disana dengan gambar icon yang aneh. Abang Al cuman mengangguk.

"Pija, gue matiin yah. Dari tadi kacangin gue." Omel Ara. Saat Pija mengembalikan posisi ponselnya dekat telinga. "Lo ngapain sih. Sumpah gue penasara. Abang minta yang enak-enak?"

"Engga." Jawab Pija dengan cepat. Lalu melihat ke samping tepat Abang Al berada dan ketika itu pandangan mereka bertemu.

"Abang gue, benaran belok?" Oh sungguh pertanyaan Ara sangat tidak tepat. "Abang gue ngga nafsu lihat lo, pakai lingerie?" Pija ingin menghentikan kalimat-kalimat tanya Ara. Siapa juga yang pakai lingerie, ini saja pakai baju tidur doraemon lusuh. "Aduh, gimana ini. Kalo Abang gue belok. Gue ngga bisa punya keponakan." Keluh Ara di sebrang.

Entah bagaimana Abang Al sudah sangat dekat dengannya. Membisik di telingah yang bebas. "Apa mau bukti, Abang belok atau tidak?" Setelah kalimat itu Abang Al mencium telingah Pija. Membuat Pija berinding dan hampir saya mendesah sebelum akhirnya menutup mulutnya.

"Abang normal?" Tanya Pija dengan polos.

Disebrang sana Ara sudah sangat heboh. Mendengar krasak-krusuk terutama pertanyaan Pija yang di tujuhkan ke Abangnya. Sebuah pertanyaan polos yang sungguh membuat Ara deg-degan.
"Mau coba?" Tanya balik Abang Al. Lalu mengecup belakang leher Pija.

"Ah." Rinti Pija tanpa sadar.

"Ja, gue mati yah." Suara Ara di sebrang membuat Pija mendorong Bang Al. Menghentikan aktivitas yang geli dan memicu nafsu Pija naik dan semua saraf seakan mati hanya karena kecupan-kecupan kecil itu. Pija menghindar.

"Ra, jadi gimana?" Tanya Pija. Dengan terburu-buru. "Lo mau?" Di otaknya Pija bagaimana caranya agar bisa kabur adalah hal yang ingin dilakukannya.

"Mau apa?" Tanya Ara balik karena sedang tidak mengerti maksud Pija. "Lo kenapa?"

Tenaga Pija hanya bisa mengeser sedikit Al. Tapi, Al tetap saja melakukan apa yang dia mau. "Takut?" Goda Bang Al.

Pija hanya mengangguk lalu mengeleng tapi, setelahnya Pija tidak tahu harus bagaimana. Karena di satu sisi ada hal yang di inginkannya entah pikiran atau otaknya tapi, satu sisi dia benar-benar ketakutan.

"Abang." Renge Pija tanpa sadar, saat sapuan lembut bibir tebal Bang Al berada pada lehernya. Pija menutup mulutnya saat menyadari panggilan telponnya dengan Ara masih tersambung. Entah bagaimana posisinya sekarang saat Bang Al melakukan hal yang tidak terduga.

Pija mencoba mematikan panggilan yang tersambung dengan Ara. Lalu mencoba membuat Abang Al menjauh walau hanya bergeser sedikit dan membuat kelegaan pada Pija. Walau hanya bibir yang tidak lagi menempel pada kulit lehernya. Tapi, tetap saja Pija merasa sangat lega luar biasa. "Abang, berhenti."

Abang Al kembali di posisinya semula lalu mengusap kasar wajahnya. "Sorry." Ucap Bang Al meminta maaf. Awalnya Bang Al hanya ingin mengoda Pija karena merasa tersentil dengan dua anak itu yang selalu bilang dirinya belok. Tidak tahu saja mereka Al memiliki nafsu tinggi sebagai pria normal. Tapi, tentu Al ingin melakukan itu dengan pasangan sah, yang mau sama mau sehingga ada rasa kepuasaan yang di dapatnya. "Sekalih lagi maaf." Tambah Bang Al berniat berdiri dan keluar dari kamar hotel.

"Abang mau kemana?"

Abang Al menghadap ke Pija. "Mau keluar."

"Abang ngga suka disini?"

Mengaruk kepalanya walau tidak gatal Abang Al lakukan. "Bukan ngga suka tapi, takutnya Abang kelewatan."

Pija mengangguk mengerti. "Abang, benar normal?" Tanya Pija masih tidak percaya. Saat Bang Al menyingkirkan selimut. Pija kaget mengetahui bahwa ada yang mengelembung di antara 2 paha itu. Pija menelang dengan susah payah air liurnya sendiri dan tiba-tiba ada ketakutan yang hadir. "Abang." Panggil Pija dan melihat Bang Al.

"Jadi, masih mau bilang kalo Abang ngga normal?"

Pija mengeleng. "Terus gimana, Bang?" Tanya Pija sedikit takut-takut karena ngeri juga liatnya. Selain itu Pija juga tidak enak lihat muka kesakitan yang Abang Al tampilkan. Mengedipkan bahu, Abang lakukan. Lali menutup matanya. Pija tidak tahu apa yang harus di lakukannya buat membantu suaminya itu. Tapi, satu yang terlintas. "Abang, apa setiap ketemu perempuan itunya Abang akan berdiri.?"

Pertanyaan itu membuat Abang Al membuka mata dan menatap Pija yang sibuk melihat yang lain. "Lah kan nanya Bang."

Bang Al hanya menghembuskan nafas lelahnya. Karena istrinya pikir barangnya itu adalah barang sembarang yang berdiri untuk siapa saja. Tidak tahu kah istrinya selama 31 tahun hidup, barangnya tidak pernah di celup kemana pun kecuali pakai sabun batang atau main solo. Mau jelasin juga rasanya Al takut jika istrinya ini tidak percaya. Maka, yang dilakukannya hanya diam. Membaringkan diri lalu memunggungi istrinya.

Sedikit tersentil dengan kalimat istrinya. Membuat dirinya memilih diam. "Abang marah?" Tanya istrinya.

Pija pun memaki dirinya karena ceplas-ceplosnya membuat suaminya marah. "Abang." Panggil Pija lagi. "Yah udah kalo Abang marah, aku juga marah." Begitulah akhirnya malam pertama mereka sebagai suami istri.

****

Sulbar, 29 September 2023

Sahabat ko gitu! 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang