"Gimana Ja, udah beres. Urus berkas wisuda?"
"Udah Ra." Jawab Pija, sambil memakan salad buahnya yang baru datang. Kebetulan mereka berdua lagi di kantin fakultas sedang menunggu kelas Ara.
"Udah dapat nomor kursi dong?" Tanya Ara lagi.
"Iya, Ra. Dapat nomor pertama."
"Berarti, baru kamu yang daftar Ra." Ara sedikit bingung saat mendengar Pija mendapat kursi nomor pertama. Mengingat, tinggal 1 bulan lagi wisuda di adakan.
"Ngga tahu Ra, Ngga nanya juga." Pija mengedipkan bahunya. Karena tidak ingin tahu lebih banyak mengenai nomor kursi orang wisuda. Lebih memilih tidak ingin pusing, apalagi mengurus berkas wisuda sebelumnya sungguh melelahkan harus kesana kesini.
Ara mengangguk, menyetujui perihal urusan kursi tidak penting bagi mereka. "Iya Ja, syukur-syukur kamu mau ikut wisuda hehe." Ara tertawa geli mengingat bagaimana Pija menolak untuk ikut wisuda waktu itu. Tentunya bukan tanpa alasan, tapi entah kenapa Ara merasa itu lucu.
Pija menghentikan makannya lalu menengok ke Ara. "Ngga lucu." ucap Pija dengan ekspresi datar. Apalagi melihat Ara yang tertawa geli seperti itu. "Emang bagian mananya yang lucu, Ra?"
"Sorry Ja, lucunya tuh muka kamu kaya ngenas gitu. Waktu itu." Jawab Ara di akhiri dengan tawa. "Muka, kamu kaya anak ayam yang hilang induknya." Ejek Ara dengan meng-samakan Pija dengan anak ayam yang induknya hilang.
"Memang." respon Pija setelah di ejekin Ara.
Ara yang mendengar itu menghentikan tawanya dan baru menyadari bahwa apa yang di ucapkannya adalah hal patal. Mengingat kehidupan Pija yang memang tidak mudah serta ejekan itu benar adanya. "Ja, sorry."
"Udah biasa ko, Ra." Pija tahu kalo Ara hanya mengejeknya seperti biasa, hanya saja dirinya merasa sedikit lebih sensitif untuk perihal orang tua. Entahlah mungkin, dirinya hanya rindu rasanya punya orang tua, rindu di peluk dan rindu bercanda gurau.
"Kan jadi melow, gini deh. Sekalih lagi maaf yah Ja." Permintaan maaf Ara tentu permintaan tulus, Pija merasakan itu. Apalagi saat kedua tangan Ara mengenggamnya, seolah mengkuatkannya. "Minggu ini, mau siara ke makam ngga Ja?"
"Ngga tahu Ra, liat minggu deh."
"Tumben, Ja?" Kening berkerut Ara muncul begitu saja. Saat sebuah jawaban di dengarnya dari Pija. "Minggu kemarin udah ke makam yah, Ja?" Gelengan kepala Pija, lagi-lagi memperdalam tanda tanya di kepalanya.
"Belakangan ini, aku sedikit sibuk Ra."
Jawab Pija lalu mengalihkan perhatiannya dan kembali menikmati salad buahnya."Kalo ada apa-apa, cerita Ja. Kamu tahu kan kalo aku bukan peramal. Jadi, yang begini-gini aku ngga bisa nebak Ja. Nebak hujan saja BMKG sering salah, apalagi aku Ja." Ara memang gitu, mode serius dan bercandanya bisa bersatu. "Kamu kan suka cerita ke tante dan om, perihal apapun. Jadi tumben aja kalo minggu-minggu ini kamu belum kesana. Sebelumnya, kamu pasti hampir tiap minggu" Pija sudah menebak kalo respon Ara pasti seperti ini. Tapi, panjang kali lebar tidak lama. Karena saat menerima telpom dari temannya, Ara di kabarkan masuk, dosennya udah ada dikelas. Tapi, ruangan yang di pakai pindah.
Ara pergi dan tinggal Pija sendiri di kantin. Ada beberapa mahasiswa atau mahasiswi menyapanya, dan Pija memilih menengelamkan dirinya pada makanan yang baru datang, yaitu soto lamongan. Cuaca mendung ini sungguh mendukung untuk makan-makanan yang berkuah.
Denting suara ponselnya berbunyi, saat Pija menikmati makanannya. Bukan sekalih atau dua kali denting itu berbunyi. Pija mengangkat bahunya dengan acuh, "Palingan grup sih." Ucapnya lalu kembali makan. Tidak berselang lama bunyi denting itu berganti dengan bunyi suara panggilan. Keningnya sedikit berkerut dan memilih untuk mencari ponselnya di tas, lalu melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat ko gitu! 21+
Romansa"Pija lo harus bantu gue. menikahlah dengan Bang Al." persahabatan dari sekolah menengah pertama sampai dia berdua duduk di bangku perguruan tinggi membuat tidak ada jarak yang hadir di antara mereka berdua. Saling tolong menolong tidak asing lagi N...