Pindahan mereka berlangsung cepat. Lantara mereka hanya perlu membawa 2 koper, selebihnya sudah tersedia dengan baik dirumah baru tersebut. Semua itu, tentu ide dari Bunda. Bunda sudah mempersiapkan apapun di rumah baru tersebut. Pija dan Al sebagai pengantin baru hanya masuk tanpa bersusah payah membeli perabotan ini dan itu, mencari warna untuk dinding atau menghias tanaman di depan rumah.
Awalnya, Pija merasa tidak enak karena Bunda harus sibuk lantaran dirinya. Tapi, setelah di beritahu secara baik-baik Pija mengerti mengenai permintaan Bunda. Bunda sangat ingin di libatkan dalam hal apapun yang menyangkut anak-anaknya. Salah satunya yang dilakukannya yaitu mengambil alih soal isi rumah baru Pija dan Bang Al.
Kejutan baru bagi Pija. Karena untuk pertama kalinya Pija melihat rumah yang akan di tempatinya bersama Bang Al. Pija tidak memiliki ekspetasi tinggi karena tidak di libatkan dalam hal patungan membeli rumah tentu alasan utama. Pija sudah membujuk agar Bang Al melibatkannya membeli ini dan itu walau satu barang dengan uangnya untuk rumah baru mereka. Tapi, penolakan di dapatnya dan kalimat ini yang di dengar dari Bang Al. "Uang suami ada hak istri, namun uang istri tak ada hak suami, kewajiban suami ada lima yakni, pakan, pakai, tempat tinggal, pendidikan dan perhatian" berujung Pija diam.
(Ilustrasi gambar rumah impian Pija. Sumber, pinterest.)
"Tadaaa!." Dengan heboh Ara membuka penutup mata Pija. Karena sebelum turun dari mobil. Ara sudah berinisiatif menutup mata Pija menggunakan dasi Bang Al. Bang Al dan Bunda tentu mengiyakan kemauan Ara. Ekspetasi Ara terhadap Pija benar saja.
"Wow." Kata Pija saat melihat bagaimana rumah yang di bilang minimalis itu nampak sangat mewah di matanya. "Ini serius, Ra?" Bunda dan Bang Al berada dua langkah dari Ara dan Pija yang ada di depan. Membiarkan 2 sahabat itu berpelukan karena kegembiraan satu sama lain.
"Kejutan!" Seru Ara tepat di telinga Pija. "Ini. Rumah lo dan Bang Al."
Pija tidak berucap apa-apa selain menangis. Pelukan itu di ambil alih oleh Bang Al. "Sayang. Ko nangis?" Sebuah pertanyaan terdengar. Senyum bahagia Al tercetak dengan baik lantaran lagi-lagi melihat istrinya menangis bahagia. "Sayang. Ini nangis, bahagiakan?" Untuk tidak menebak-nebak Al bertanya. Walau instingnya yakin bahwa 100 persen, tangis Pija atau sang istri adalah tangis ke bahagian tapi, tetap saja Al ingin memastikan.
Anggukan kecil itu menjadi jawaban. Senyum Al lebih lebar lagi dan sebuah sapuan di belakang Pija membuatnya tambah nangis. Pija tahu sapuan lembut itu adalah Bunda. "Cup, cup nangisnya udah yah. Kita masuk dulu." Ucap Bunda.
Menghapus air matanya dan ikut masuk bersama Bunda ke dalam rumah dengan tarikan lembut yang di dapatnya, begitu pun Bang Al dan Ara yang berada di belakang Pija dan Bunda yang berjalan bersama. Sungguh nikmat apa lagi yang harus Pija dustakan. Seakan rencana tuhan begitu indah baginya.
Kehilangan kedua orang tuanya dalam keadaan mengerikan tentu hal yang tidak pernah di lupakan sampai saat ini. Merasa tidak berharga adalah salah satu rasa yang tertanam dalam pikiran dan alam bawa sadarnya. Bagaimana dia, di tinggalkan seorang diri seakan momok menakutkan. Sehingga tidak masalah jika tidak ada orang yang berada di sekitarnya dalam jangka waktu tidak tertentu lantaran ketakutan kehilangan.
Beruntung banget Pija bisa memiliki keluarga seperti ini. "Ara." Panggil Pija saat menyadari konsep ruang tamu ini adalah impiannya yang di catat asal-asalan pada bukunya.
"Hehe." Ara cengigiran di tempatnya. "Ketahuan yah?"
"Ara, lo nyebelin." Haru Pija. Karena konsep dalam rumah yang di buat asal-asal di bukunya beberapa tahun lalu, kini terwujud dengan baik di depannya. Jadi, wajar saja jika dirinya kembali nangis. "Kan gue nangis lagi." Saat kalimat Pija terucap. Semua orang yang berada di rumah itu tertawa. Menertawakan bagaimana bisa Pija kembali menangis dengan mengucapkan kalimat seperti itu.
Al kembali membawa Pija masuk didalam ke pelukannya. "Kenapa nangis mulu sih sayang."
Seakan Bunda dan Ara memaklumin Pija yang terus saja menangis tanpa henti. Mengingat perjalan hidup Pija, yang tidak mudah tentu tangis bahagia yang tidak henti-henti itu adalah hal yang wajar.
Ara sungguh bahagia menyaksikan bagaimana sahabatnya sebahagia itu. Setelah tangisnya usai, Pija menjelajai isi rumah barunya.
Selalu ada kata 'Alhamdulilah' yang terucap saat melihat bagaimana tampilan rumah barunya. Pija tidak pernah berpikir bawah skestsa isi rumah yang di buat asal-asalan di bukunya kini terwujud dan ada di depannya. Jika rejeki ini datang bertubi-tubi, lalu ujian apa yang perlu di hadapinnya lagi? Pertanyaan itu tentu yang ada di kepala Pija. Karena bagaimana juga Pija ingin serakah. Pija tidak ingin kehilangan kebahagian ini lagi. Walau bagaimana pun itu, tapi yang namanya hidup tiada yang tahu.
Merasakan bahagia karena di keliling oleh orang-orang yang mau menerimannya tentu adalah hal yang patut di syukuri. Jika, bukan karena pertolongan Allah mungkin Pija masih sebatang kara. Menyendiri di dalam kosnya, meratapi semua kesedihan yang terjadi di dalam hidupnya.
Pija tidak ingin berharap pada banyak hal untuk kedepannya. Karena untuk sekarang pun, dirinya sudah merasa cukup. Cukup disini maksudnya tidak kekurangan kasih sayang sedikit pun, dari keluarga barunya. Memang benar darah lebih kental dari air tapi, jika konteksnya seperti hidup Pija mungkin lebih baik memilih air dari pada darah yang kental. Karena tidak di anggap sungguh menyakitkan.
"Sayang, gimana?" Pertanyaan lembut itu tepat di telingah Pija. Membuat Pija sempat kaget sebelum tersenyum melihat Bang Al melingkarkan kedua tangannya di perut rata Pija. "Dari tadi diam terus."
"Bunda dan Ara, mana Bang?" Bukannya menjawab. Pija kembali bertanya. Karena setelah mereka berempat keliling rumah baru dan sampai pada kamar utama di lantai 2. Ara dan Bunda pamit ke lantai bawah membiarkan dirinya dan Al beristirahat. Pija mebaringkan dirinya tapi, matanya tidak dapat tertutup. Kebahagian yang terlalu banyak di dalam sana membuatnya tidak rela untuk terlelap walau sebentar.
"Ngelamuni. apa sih sayang. Dari tadi di temanin bicara diam terus." Al sudah mulai angkat suara melihat Pija yang dari tadi diam memandang hamparan tanaman di lantai bawa. Pija berdiri di balkon tepat di kamar utama miliknya. "Biasanya ngga gini." Keluh Al.
"Lagi pengen Bang."
"Abang jadi takut kalo kamu gini."
"Takut, gimana?"
Usapan lembut di perut Pija terasa. Al dari tadi sudah menumpukan kepalanya tepat di kepala Pija. Karena tinggi Pija yang sebatas bahu Bang Al.
"Abang, isst!" Renge Pija tidak suka saat tangan Al terus mengusapnya."Kenapa sayang. Sensi banget."
"Tangannya Bang." Keluh Pija.
Al mencium rambut Pija berulang, lalu bilang. "Maaf, sayang." Pija selalu tahu, jika begini pasti Al meminta maaf.
"Abang, kira-kira ujian apa lagi yah. Yang akan aku dapat?"
"Ujian apa, sayang?" Kerutan tanda tidak mengerti Al tampilkan.
"Ujian hidup dari Allah karena begitu banyak kenikmatan yang diberikan." Ucap Pija dengan bersungguh-sungguh. Pikirannya begitu kalut lantaran kebahagian yang tidak henti di terimanya namun, ketakutannya atas ujian yang menghampirinya kiang menguat. "Apa ujiannya, kehilangan lagi Bang?"
***
Sulbar, 11 Desember 2023
Selamat membaca🥰
Sebelumnya terima kasih atas vote dan komennya. Karena kedua hal itu sangat berharga buat aku.(Oh untuk kata penganti aku dan gue. Sebenarnya disini, maksudnya sama yah. Tapi, yang membedakan dengan siapa Pija berbicara. Seperti jika bicara dengan Ara karena seumuran dan teman lama aku membiarkan Pija memakai 'gue' sedangkan kepada Bang Al, Bunda dan orang tua lain aku memakai 'aku'.) Atau gimana teman-teman silahkan berikan masukan? Karena saya pun di dunia nyata gitu hehe...
Sekalih lagi tolong beritahu aku apa yang menurut kalian salah dalam tulisan ini yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat ko gitu! 21+
Romansa"Pija lo harus bantu gue. menikahlah dengan Bang Al." persahabatan dari sekolah menengah pertama sampai dia berdua duduk di bangku perguruan tinggi membuat tidak ada jarak yang hadir di antara mereka berdua. Saling tolong menolong tidak asing lagi N...