1: Gara-gara Six Hours

37 1 0
                                    

“Pulang, yok. Udah jam 1, nih,” ucap Anjani dengan suara lantang agar terdengar oleh lawan bicaranya. 

“Nanggung, Jan. Baru mulai DJ-nya. Si Martin yang terkenal di Senopati itu DJ-nya.” Jelas saja lawan bicaranya menolak ajakan Anjani yang kerap disapa Jani untuk pulang. DJ kesayangannya baru memulai permainannya di atas sana. 

“Gue janji sama ayah jam 12 udah di rumah.” Jani gelisah bukan main melihat di sekelilingnya semakin ramai. 

“Yaudah pulang duluan sana!” 

Jani lantas menepuk belakang kepala temannya. “Ntar kalo lo dibungkus yang ada gue yang ditembak Bapak lo, Amelia!” 

Amelia sahabatnya dari jaman ingusan memang suka tidak tahu diri kalau sudah diizinkan main keluar oleh bapaknya. Jani yang dibawa untuk mendapat izin tentu saja seolah mendapat beban tak kasat mata. Bapaknya Amel seram, lebih seram dari ayahnya. 

Gimana nggak seram, Bapaknya Kapolsek Petamburan yang biasa nangkepin penjahat. Bayangin kalau Bapaknya Amel alias Pak Bambang tahu kelakuan anaknya di luar, Jani yakin Amel bakal dikurung seharian di kandang kambing. 

Jani yang kesal tidak didengar perkataannya, berakhir menyeret Amel keluar dari pub kesayangan mereka. Jani orangnya tepat janji, kalau janji pulang jam 12 maka pulang jam segitu, meskipun udah lewat satu jam lebih. Yang penting nggak berakhir blackouts dan ditemuin di selokan besok pagi. Kan nggak elit banget. 

Dua anak manusia tersebut membelah jalanan ibukota yang senggang di tengah malam. Untungnya mereka berakal, tidak mengenakan pakaian mini ketika mengendarai sepeda motor. Scoopy merah andalan Jani berada di kecepatan 80 km/jam. Ia benar-benar mengejar waktu untuk cepat sampai rumah. 

15 menit waktu tempuh mereka dari six hours sampai ke Rawa Bening yang normalnya 30-40 menit. Amel yang sudah biasa dibawa ngebut sama Jani biasa saja, tidak heboh teriak-teriak seperti orang diculik. 

“Thanks, bro!” Amel turun dari motor dan menepuk punggung Jani tanpa perasaan. 

“Sakit, bodoh!” Memang tidak bisa tidak mengumpat jika bersama Amel. 

Begitu memastikan Amel masuk ke dalam rumahnya, Jani melajukan motor menuju rumahnya. Mematikan mesin motor begitu tiba di jalan setapak menuju rumahnya. Mendorong motornya dan memarkirkan di samping rumah yang memang diperuntukkan tempat parkir. 

Seberusaha mungkin tidak menimbulkan suara yang mampu membangunkan ayahnya yang mudah sekali terjaga. Jani jalan mindik-mindik melalui pintu belakang dan langsung masuk ke kamarnya tanpa bersih-bersih dulu. Ia takut ketahuan ayahnya baru pulang jam segini. 

***

"Pulang jam berapa semalam?" tanya ayahnya begitu mendapati Jani tengah melamun di ruang keluarga. 

"Jam 1.20," jawab Jani jujur. Ia tidak bisa bohong di depan ayahnya, pasti bakal ketahuan juga. Daripada ujungnya kena ceramah, mending mengaku dari awal. 

"Kenapa nggak sesuai dengan yang kamu janjiin ke Ayah?" tanya Ayahnya tak suka mendapati putrinya melanggar janjinya. 

"Jani lupa, Yah, keasikan ngobrol sama Amel dan nggak sempet liat jam." 

Tanpa aba-aba, ayahnya menarik Jani ke belakang rumah. Jani didudukkan di sebuah batu besar dan mengarah ke pepohonan yang rindang. Mau dibilang hutan, tapi nggak luas-luas banget. Dibilang bukan hutan, tapi pohonnya besar dan tinggi, sampai lantai hutannya tidak kena sinar matahari. 

Udara dingin langsung menusuk hingga tulang belulang Jani yang mengenakan kaos pink kedodoran dan celana boxer merah selutut andalannya ketika di rumah. Jani yang sudah tahu harus berbuat apa, langsung bersila di atas batu tersebut yang memang seperti tercipta untuk bersemedi. 

"Renungi kesalahan kamu semalam! Akui dan minta ampun sama Allah," ujar Ayahnya dengan datar, namun mampu membuat Jani ketar-ketir. Ayahnya kalau sudah mode pak ustadz, nggak ada yang bisa menolak perintahnya, deh. 

Anjani yang sudah sering kena hukum seperti ini, mulai mengingat lagi hal apa saja yang dilakukannya semalam. Tentu saja pergi ke six hour sudah dosa yang besar. Tempatnya maksiat, meskipun Jani tidak berbuat maksiat, menurutnya. 

"Minum berapa banyak semalam?" tanya ayahnya yang membuat Jani tersedak ludah sendiri. 

Padahal ia ingat bahwa tidak menyentuh segelas pun alkohol. "Nggak minum, Yah." 

"Ayah kenal anak Ayah, ya." Iya, memang betul. Tak ada yang mengenal Anjani sebaik ayahnya mengenalinya. 

"Lupa, intinya masih sadar sepenuhnya." 

"Duduk di sini sampai azan zuhur. Nggak boleh bergerak sedikitpun, bahkan ke kamar mandi!" Telak! Anjani dihukum oleh ayahnya. 

***

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang