10

7 0 0
                                    

“Nggak ada ibanya sama sekali! Udah tau orang lagi pincang begini ditambah tangan patah, bukannya disediain suster, kek. Malah disuruh apa-apanya sendiri. Tau gitu mending di rumah sakit aja ketauan ada yang ngurusin.”

Anjani kesal dengan keluarganya. Nggak ada seorang pun di rumah, padahal ia sedang tidak bisa melakukan banyak kegiatan sendiri. Tidak ada yang mengabari juga pergi kemana, padahal ini Sabtu yang harusnya ayah dan Sandi sedang di rumah.

Ibunya yang biasanya di rumah juga tidak kelihatan batang hidungnya. Jani yang sedang pincang, melangkah keluar rumah sambil membawa nutella yang belum dibuka. Mana bisa tangannya yang patah membuka selai tersebut.

Ia berniat meminta bantuan tetangganya dengan teriak memanggil mereka. Barangkali ada yang berbaik hati memberinya makan dan ia tidak perlu repot-repot membuat roti untuk pengganjal perut.

Ocehannya terhenti begitu mendapati orang asing berdiri di depan rumahnya. Mereka bertatapan dan tanpa sadar tangan kiri Jani mengulurkan nutella pada lelaki tersebut.

“Tolong bukain,” pinta Jani dan langsung dibukakan oleh lelaki tersebut.

“Rotinya mana? Mau sekalian diolesin?” Septa menawarkan bantuan lain setelah melihat tangan kanan Jani yang di-gips.

“Di dapur. Tolong sekalian ambilin, deh. Kaki gue sakit buat jalan.”

Tangan kiri Jani yang sehat menunjuk ke arah kakinya yang diperban. Ia bahkan jalan dibantu tongkat. Bayangkan betapa mengenaskannya kondisi Jani saat ini, dan ia ditinggal sendirian di rumah!

“Saya masuk, ya.”

Jani tidak peduli jika lelaki tersebut berniat buruk, misalnya mau maling rumah Jani, gitu. Ia tidak peduli! Yang ia pedulikan saat ini adalah mengisi perutnya yang kosong dan mulai perih.

Lelaki tersebut membawa nampan yang terdapat beberapa potong roti isi nutella dan segelas air minum. “Silakan dimakan, semoga suka,” katanya dan duduk di kursi samping Jani terhalang meja bundar.

“Makasih banyak.” Anjani terharu. Perutnya akhirnya nggak berisik lagi.

“Btw, kita belom kenalan. Gue Anjani.”

“Saya Septa.”

“Kaku banget, sih. Santai aja, kali. Ada keperluan apa?”

“Nggak ada. Lagi keliling aja mengenali lingkungan baru. Kebetulan gue baru pindah di kos Campur Sari.”

Anjani terbelalak mengetahui informasi tersebut. “Ibu kosnya si Lela, kan? Hati-hati sama dia, bisa ditaksir dan dibawa kawin lari lo sama dia,” kata Jani berusaha menakuti Septa.

Septa tersenyum menanggapinya. Lela tidak semenyeramkan itu.
“Lo baru pulang dari rumah sakit, ya?” tanya Septa begitu teringat dengan omelan Jani tadi.

“Iya.” Jani enggan menjelaskan lebih lanjut. Ia sudah bersikeras untuk di rumah sakit, minimal sampai kakinya bisa jalan tanpa tongkat. Tapi orang tuanya  tidak mengizinkan, mereka bersikeras untuk merawat Jani di rumah sampai sembuh.

"Gue kenal therapist untuk melatih terbiasa dengan luka lo selama beberapa waktu ke depan," ujar Septa teringat dengan fisioterapi andalan keluarganya tatkala Septa mengalami fatigue akibat bekerja.

"Nggak, deh. Makasih. Mending uangnya buat beli keperluan lain," tolak Jani begitu menyadari bahwa biaya fisioterapi tidak murah.

"Tapi itu investasi jangka panjang, penyembuhan kamu bisa maksimal, lebih cepat dan kamu kembali produktif."

"Nggak paham deh gue nilai investasinya dimana." Jani skeptis dengan argumen Septa.

"Kamu bisa coba dulu terapi beberapa kali, kalau memang tidak ada efeknya, bisa berhenti. Sebagai jaminannya, saya akan membiayai terapi kamu sampai kamu menemukan manfaat dari fisioterapi, gimana?" Septa mengajukan win-win solution. Ia ingin membantu Jani pulih dengan cepat.

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang