6: Rutinitas sang Bintang

8 1 0
                                    

"Aku berangkat dulu," ujar Septa pada kedua orang tuanya yang sedang menyantap sarapan.

"Tunggu! Bekal kamu." Sandra menginterupsi langkah putranya dan berlari kecil menghampiri Septa yang sudah berada di depan pintu rumah.

"Mam," ucap Septa dengan setengah malas melihat kelakuan maminya.

"Mami bawain untuk yang lain juga, kok. Sesuai permintaan kamu. Tujuh box untuk GMC." Sandra dengan bangga mengangkat paper bag yang berisi kotak makan untuk GMC.

"Thank you. Kalo Mami capek, sebenernya nggak usah bikinin aku sarapan, loh." Septa mengambil paper bag tersebut dan mengecup pelipis sang mami.

"No! Nggak ada kata capek untuk sarapan anak Mami."
Septa tersenyum. Jika diteruskan, maminya ada saja argumen untuk menyangkal segala penolakan Septa.

"Aku berangkat dulu." Septa berlalu dari hadapan Sandra dan masuk ke mobilnya yang sudah siap berangkat dengan supir.

Jalan yang dilaluinya tergolong ramai lancar. Septa tiba di basement Monokrom dengan tenang. Mengingat saat ini masih pukul 6.30 pagi, yang mana kebanyakan orang masih bersiap untuk berangkat dan belum memenuhi jalanan ibukota.

Begitu tiba di dorm, suasana temaram menyambutnya. Ia menyalakan lampu dari satu saklar pusat yang terhubung ke semua lampu di ruangan ini. Septa melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Tempat ternyaman untuk melakukan segala hal. Membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. Ia menyusun dan meletakkannya di atas meja masing-masing anggota.

Menyantapnya duluan karena mereka belum ada tanda-tanda untuk keluar. Septa makan dengan fokus. Ia diajarkan oleh maminya untuk disiplin ketika makan alias tidak boleh sambil melakukan kegiatan lain. Bahkan sekadar memegang ponsel pun tidak diperbolehkan.

Maminya bilang waktu seseorang untuk melakukan kegiatan lain itu banyak sekali dalam 24 jam. Lain halnya dengan waktu makan yang sudah ditentukan secara tersirat. Bahkan tak sedikit orang yang makan selaparnya mereka alias tidak teratur. Wah, maminya tidak suka dengan orang seperti itu. Jika waktu makan anak-anaknya kedapatan berantakan oleh maminya, siap-siap saja mereka akan kena ceramah paling sebentar satu jam.

Berbagai agenda sudah berputar di otaknya. Bukan tanpa alasan Septa datang sepagi ini ke Monokrom. Ia tidak suka dikejar-kejar waktu jika terlambat. Lebih baik dirinya datang lebih awal dan menunggu mereka siap dibandingkan mereka yang harus menunggu dirinya siap.

Selesai dengan agenda yang membuka paginya, Septa mengeluarkan map berisi beberapa berkas yang harus dipelajarinya. Ia mulai tenggelam dalam berkas tersebut tanpa menyadari GMC yang lain sudah berkumpul di meja makan dan siap untuk sarapan.

GMC sempat terkesima melihat Septa yang berada di ujung meja makan dengan jendela yang terbuka di sisinya. Siluetnya menunjukkan betapa tampannya lelaki tersebut dalam keadaan apapun. Bahkan karismanya bertambah berkali-kali lipat tatkala Septa tengah serius seperti itu.

Januar yang terakhir duduk di kursinya berbasa-basi dengan Septa. "Udah dari tadi, Bang?"
Septa melihat ke arah jam dinding untuk melihat waktu yang sudah dihabiskannya sedari tadi. "Nggak, baru tiga jam," jawabnya sarkas. Yang benar saja! Septa sudah selesai mereview tiga berkas perjanjian yang cukup tebal dan mereka baru muncul.

Januar hanya bisa meringis mendengar jawaban tersebut. GMC memang sulit sekali untuk bangun pagi. Bahkan mereka tidak pernah menerima jadwal apapun di pagi hari. Kecuali perusahaan yang akan menggunakan jasa mereka berani membayar lebih. Karena bangun pagi butuh usaha yang besar bagi mereka.

Telepon rumah berdering dan membuat GMC saling menatap. Telepon tersebut hanya diketahui oleh manajer mereka dan beberapa petinggi perusahaan. Jarang sekali telepon tersebut berbunyi. Jika berbunyi menandakan ada suatu hal yang mendesak dan sampai menghubungi GMC melalui telepon tersebut.

“Angkat sana!” suruh Septa pada siapa pun yang berada di meja makan.

Tian yang berada paling dekat dengan posisi telepon, beranjak dari kursinya. “Hallo, Christian di sini.”

Terlihat dari gestur Tian bahwa panggilan tersebut berisi omelan. Lelaki tersebut menjauhkan gagang telepon dari telinganya dan memasang ekspresi bersalah. “Iya, Kak. Masih sarapan. Sebentar lagi ke sana.” Tian diam mendengarkan kembali lawan bicara. “Siap, laksanakan.” Meletakkan gagang telepon dan kembali ke meja makan dengan tergesa.

“Kalian dimana? Kenapa belum sampai di lokasi? Tahu nggak mulainya jam berapa? Jam 10 dan sekarang udah jam 9!!! Cepat ke sini sekarang kalau tidak mau digeruduk ke dorm kalian!” ucap Tian meniru perkataan manajer mereka yang barusan menelepon.

Septa terbahak mendengarnya. Ia sudah menyangka bahwa panggilan tersebut berasal dari Delfi, manajer mereka. GMC yang lain menghabiskan sarapan mereka dengan terburu dan pemandangan selanjutnya adalah mereka yang tergesa untuk bersiap menuju lokasi shooting.

Septa menghubungi pengawal GMC untuk meminta mereka menyiapkan mobil yang akan membawa GMC ke lokasi shooting. Butuh waktu satu setengah jam untuk mereka tiba di lokasi yang terletak di daerah Jakarta Barat. Cukup jauh dari gedung Monokrom yang berada di Senayan.

Begitu tiba di lokasi, yang pertama menyambut mereka adalah sosok wanita gemuk dengan kacamata bulat yang menambah kesan galak di wajahnya. GMC saling dorong untuk maju duluan menghadapi Delfi. Satu-satunya orang yang mereka takuti jika sudah marah. Kecuali Septa yang tidak takut dengan siapapun di Monokrom ini.

“Tahan dulu marahnya. Langsung ke ruang make up aja biar nggak makin terlambat.” Septa memotong segala perkataan yang akan dikeluarkan Delfi dan berjalan melaluinya begitu saja.

Tidak perlu semakin memperparah keterlambatan mereka, lebih baik ditahan untuk nanti saja. Begitu prinsip Septa. Selesaikan hal yang ada di depan mata, baru yang lainnya.

“Maaf atas keterlambatan kita,” ungkap Septa di hadapan seluruh kru yang bertugas hari ini. Ia membuat pose tangan yang ditaruh depan dada dan menunduk, menyampaikan penyesalannya atas keterlambatan yang terjadi.

It’s okay, Mas. Segera ke ruang make up, ya,” sahut produser agar tidak perlu berlama lagi.

Septa sampai terlebih dahulu di depan ruang make up yang pintunya tidak tertutup sempurna. Ia mendengar percakapan entah dari MUA atau hair do.

“Mentang-mentang artis besar bisa terlambat seenaknya gini. Terlambatnya mereka sama aja menambah jam kerja kita, kan. Udah gitu bakalan dimaklumin aja tuh sama produser nanti.”

Demi menghargai keberadaan mereka, Septa mengetuk pintu terlebih dahulu yang berakibat terhentinya perbincangan mereka.

“Selamat pagi. Maaf GMC terlambat.”

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kru bahwa GMC jarang sekali datang tepat waktu. Apalagi jika lokasi shooting berada jauh dari Monokrom. Keterlambatannya bisa semakin lama.

Tidak ada manusia yang sempurna, kan? Bahkan sekelas GMC yang begitu banyak orang memuji atas kerja keras mereka. Namun, kebiasaan buruk tetap melekat di diri mereka. Kurang disiplin.

#############################

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang