11

5 0 0
                                    

Tok… Tok…

Di ketukan selanjutnya mulai terdengar suara kunci pintu terbuka. Seseorang di hadapan Septa membuatnya melongo. Hampir saja ia menjatuhkan paper bag di tangan.

“Ada apa, ya?” tanya perempuan dengan hanya mengenakan tanktop berwarna kuning dan hotpants pink. Ditambah rambutnya yang mengembang khas orang bangun tidur.

Septa berdehem meredakan keterkejutannya. “Selamat pagi. Perkenalkan, saya Septa. Saya mau memberikan ini sebagai salam perkenalan. Kebetulan saya penghuni baru di kamar ujung sana. Mohon kerjasamanya, ya,” ucap Septa langsung tanpa henti dan mengulurkan paper bag ke hadapan perempuan tersebut.

“Aaa, hallo. Salam kenal. Saya Yunia,” balas perempuan tersebut dengan kikuk. Ia tidak menyadari bahwa tamunya adalah seorang lelaki dewasa.

“Saya lanjut bagiin ini dulu, ya?” pamit Septa yang langsung diangguki Yunia.

“Terima kasih.”

Selesai dengan agendanya membagikan kue sebagai salam perkenalan, ia bergegas kembali ke kamarnya yang berada di ujung lorong. Kakinya tergesa menghampiri kamarnya sambil mulutnya komat-kamit.

Membuka kamar dengan tidak sabar, bahkan terdengar seperti mendobrak. “Bangun!” Septa menarik kerah baju Aryo yang baru tertidur.

“Apaan,” balasnya pelan. Ia sungguh mengantuk.

“Kenapa kosannya campur putra-putri?” tanya Septa dengan frustasi dan memaju-mundurkan tubuh Aryo.

“Adanya kos ini paling bagus dan terpercaya. Lo nggak bilang spesifikasinya gimana. Kayak nggak pernah tinggal bareng cewek aja,” ujar Aryo menyampaikan pembelaan.

“Emang nggak pernah, Yo!!! Kalo Mami gue tau, abis dicincang,” balas Septa dengan suara yang meninggi.

“Apa yang lo temukan sampai seheboh ini?” Aryo sudah sepenuhnya sadar dan menyadari ada hal yang membuat Septa tidak nyaman.

“Belum pada bangun tidur, gue harus mengetuk sering. Buka pintu nggak pake baju yang normal. Baju tidur pendek semua. Lo bayangin apa nggak frustasi pagi-pagi gini, Yo,” sungut Septa sambil menggoyangkan tangan Aryo.

“Terus sekarang mau gimana?”
Septa menggelengkan kepala pelan. Ia tidak tahu jika ditanya mau bagaimana. Karena ini keputusannya untuk keluar dari zona nyaman. Tapi nggak ekstrem gini juga zona barunya.

***
“Ada paket dari Mami tercinta,” kata Samuel dan memberikan paket tersebut pada Septa.

Thanks.”

“Kue yang kemarin lo kirim enak, Bang,” puji Samuel teringat dengan kue bertoping jeruk yang dikirim Septa beberapa hari yang lalu.

“Jelas! Harvest mana yang nggak enak.”

“Lagi ngapain, sih?” tanya Samuel geregetan karena Septa tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari ponsel.

“Villa pinggir laut? Lo mau liburan, Bang?”

“Iya. Udah lama nggak staycation bareng Mami,” jawab Septa yang mendapat anggukan dari Samuel.

Kedekatan Septa dengan maminya tak diragukan lagi. Liburan Septa maunya dihabiskan bersama sang mami. Kalau ada waktu luang, lebih memilih makan bersama mami. Semuanya bersama mami.

“Udah coba buka paket dari Mami?” tanya Samuel yang langsung menghentikan kegiatan Septa. Siapa tahu paket tersebut mampu membuat Septa membatalkan semangatnya yang sedang mencari lokasi liburan.

Tanpa pikir panjang, Septa membuka box yang dibungkus rapi khas maminya. Begitu isi paket terlihat, lantas Septa membantingnya ke atas meja.

“Kan,” sahut Samuel terkekeh. Ia sudah paham betul isi paket tersebut.

Satu-satunya hal yang membuat Septa kesal dan mampu melawan maminya adalah hal yang berada dalam paket tersebut.

“Mami apa-apaan, sih? Kenapa kirimin aku invitation card gini? Nggak! Aku nggak mau datang,” sungut Septa melalui telepon pada maminya.

“Aku nggak mau datang ke acara begituan. Aku tau ada udang di balik bakwan!”

“Nggak! Sekali tidak tetap tidak. Atau aku nggak akan telepon Mami untuk beberapa hari ke depan,” ancam Septa yang hanya sekadar angin lalu. Mana bisa ia tidak menghubungi maminya dalam sehari.

“Mi,” rengek Septa yang sudah putus asa. Septa keras kepala, namun maminya lebih keras lagi kepalanya.

“Nggak tahu, lah! Bye.” Septa mematikan sambungan begitu saja. Kekesalan terlihat jelas di wajahnya saat ini.

Samuel terbahak melihat raut Septa yang berubah masam dalam seketika. Padahal beberapa menit yang lalu ia masih semangat mencari destinasi wisata. Samuel sudah feeling bahwa paket tersebut berisi undangan.

Seluruh GMC sudah hafal bahwa Sandra sedang gencar mengatur jadwal kencan Septa dengan gadis di luar sana. Bahkan pernah setiap hari ada paket yang dikirim Sandra ke Monokrom untuk Septa. Paketnya tidak jauh-jauh dari kartu undangan, secarik kertas berisi alamat restoran yang sudah direservasi Sandra beserta profil lengkap wanita yang akan menjadi teman kencan Septa.

Samuel sedikit banyak paham tentang pemikiran Sandra. Bagaimana tidak? Septa memang yang paling sulit untuk didekati perempuan mana pun. Bahkan terlihat berbincang dengan perempuan pun tak pernah.

Di usia Septa yang menginjak 30 tahun, pasti ia mendapat banyak pertanyaan terkait ‘kapan nikah?’, ‘pacarnya siapa?’, dan pertanyaan lain yang menjurus ke arah hubungan asmara. Terlebih keluarga besar Septa yang paling sering melayangkan pertanyaan tersebut.

“Gimana? Pasti pergi, kan? Mana mungkin seorang Septa bisa melawan kehendak Maminya,” ujar Samuel yang tidak sepenuhnya salah.

Septa bisa saja melawan, tapi ia sedang tidak ingin maminya membuat drama agar berbaikan dengannya. Maminya suka sekali membuat drama yang selalu membuat Septa luluh dan tak mendiamkan maminya lagi.

Septa menjentikkan jarinya dan mengeluarkan suara yang nyaring. Ia melihat ke arah Samuel dengan kedua sisi bibir tertarik sempurna. Senyum yang paling menyebalkan di mata GMC.

“Nggak!” tolak Samuel tegas.
Septa mulai menggoyangkan bahu dan alisnya untuk membujuk Samuel. “Pulang dari sana gue traktir minum,” tawar Septa yang masih mendapat gelengan dari Samuel.

“Ayo, Sam. Temenin gue,” ujar Septa dengan memohon. 

Samuel tampak berpikir keras, ingin meminta imbalan apa dari Septa jika menemaninya pergi ke undangan tersebut?

“Ok, traktir gue di Pentana dengan syarat 5 main dish nya masih tersedia ketika kita pulang. Hari ini juga!” ujar Samuel yang membuat Septa melongok.

“Ok, deal.” Septa menyalami tangan Samuel, tanda mereka sepakat.

Septa langsung menghubungi manajer cabang restoran Pentana milik keluarganya. “Hallo, Septa Kuncoro di sini. Saya minta kalian tutup lebih awal jika bahan baku sisa sedikit. Saya mau makan di sana malam ini bareng sahabat saya,” titah Septa tanpa basa-basi.
Problem solved.”
****
 
#####################################################

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang