2: Berantem

10 1 0
                                    

"Gila! Pinggang gue mau patah," ujar Anjani begitu adzan dzuhur berkumandang.

Amel yang menunggu Jani dari 30 menit yang lalu akhirnya berani bersuara. Ia tahu sahabatnya lagi dihukum, dan ia tidak berani meledek karena ayahnya Jani memang patut disegani.

"Untung Bapak gue lagi dinas, cuy. Kalo belio ada di rumah, abis gue dikurung di kandang kambing. Masih untung lu cuman disuruh duduk di batu," kata Amel begitu Jani merebahkan tubuhnya di bale bambu berukuran besar.

"Dari jam 6 pagi gue di situ. Nggak boleh gerak sama sekali! Tega bener Bapak Rojali," sungut Jani begitu mengingat hukuman dari ayahnya.

"Salah lu sendiri, sih. Udah tau keturunan kyai, kelakuan kayak antek dajjal."

Jani melempar bantal yang digunakan sebagai alasnya ke wajah Amel. "Lo emaknya dajjal!" Berujung mereka yang saling gebuk-gebukan bantal ke badan masing-masing. Nggak bakal ada yang ngalah sebelum mereka capek sendiri.

"Nggak usah nyamper gue malem ini! Gue mau jadi ukhti solehah, bukan antek dajjal macam lo!" ujar Jani sambil menunjuk-nunjuk ke wajah Amel.

"Ye, sono gidah! Nggak bakal gue cari lo!"

Emosinya benar-benar terkuras di siang bolong begini. Jani buru-buru mandi untuk mewaraskan kembali pikirannya setelah bertengkar dengan Amel. Selesai dengan rutinitasnya, Jani menuju meja makan dan menemukan post it yang bertuliskan bahwa ibunya sedang ikut pengajian di RT sebelah.

Jani yang tidak mood makan di rumah, mengambil dompet dan ponselnya, mengendarai motor untuk berkelana. Kemana saja asalkan nggak di rumah. Ia agak trauma dengan hukuman barusan.

Sebenarnya hukumannya bukan dalam bentuk kekerasan. Memang Janinya saja yang lagi baperan. Bukan sekali dua kali ia dihukum seperti itu. Bahkan menurut Jani, itu hukuman paling ringan yang pernah ia terima dari sang ayah.

Di tengah perjalanan, melihat gerobak mie ayam yang ramai, Jani jadi penasaran. Ia menghentikan motornya dan memesan seporsi mie ayam beserta es teh manis. Ia duduk bersama pekerja kantoran yang sedang istirahat makan siang juga.

Lokasinya yang berada di pinggir jalan dan dekat pasar membuat sekitarnya terasa padat sekali. Jani memperhatikan sekeliling yang cukup membosankan. Rutinitas kemacetan ibukota menjadi pemandangannya saat ini.

Saat sedang menyantap hidangannya, seorang berpakaian layaknya preman menghampiri pedagang mie ayam dan meminta ‘uang keamanan’ katanya. Diberilah dua ribu oleh si bapak dan pergi begitu saja.

Pemandangan yang lazim mengingat ia juga punya kios di pasar baru. Datang lagi orang kedua dengan motif yang sama dan masih diberi juga oleh pedagang sekitar. Orang ketiga datang lebih bar-bar. Membawa lebih banyak orang. Salah satu anteknya duduk di samping Jani dan berusaha menggodanya.

“Hai, Neng, makan sendirian aja,” katanya sambil tersenyum menyebalkan.

Anjani tak menanggapi dan melanjutkan makannya. Merasa dihiraukan, lelaki tersebut semakin merapatkan duduknya.

“Sombong amat sih,” ujarnya sambil menoel dagu Jani. Jani yang kesal makannya diganggu dan dirinya disentuh sembarangan, meletakkan garpunya dengan keras.

Jani memandang lelaki tersebut dengan tatapan kesal yang kentara. “Pergi,” usir Jani masih dengan sabar.

“Nggak usah galak-galak gitu lah, Neng.” Tangan lelaki tersebut mulai merangkul Jani.

Tanpa aba-aba, Jani memelintir tangan lelaki tersebut yang membuatnya berteriak kesakitan. Yang benar saja, memang dikira Jani bakal pasrah gitu aja!

Perkelahian tak dapat terhindarkan. Mereka membangunkan sisi garang Anjani yang jarang ia tunjukkan. Anjani menghabisi satu per satu orang yang datang bersama lelaki tersebut. Meja tempat makannya sudah hancur lebur akibat tertiban oleh mereka.

Orang-orang di sekitar menjauh dari tempat perkelahian. Anjani menarik mereka menjauh dari gerobak mie ayam, karena tidak mau menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Anjani yang kesetanan tidak melepaskan lawannya dengan mudah sampai lawannya tak sadarkan diri. Ia benar-benar lepas kendali dan menghakimi siapapun yang mencoba menginterupsinya.

Anjani gelap mata. Ia sungguh dikuasai amarah dan tak mengindahkan orang yang mencoba melerainya. Anjani berontak saat seseorang memeluknya dengan begitu kencang. Ia bersiap membanting lawannya kalau saja tak mendengar suara yang begitu dikenalnya. “Kamu mau berantem sama Ayah?”

Membeku adalah respon Anjani mendapati ayahnya yang menghentikannya. Seolah akalnya kembali ke tempat semula, ia melihat sekeliling yang sudah kacau balau. Anjani mengangkat kedua tangannya,  tak percaya bahwa ia yang menyebabkan kekacauan ini semua.

***
Jani yang sudah tahu harus kemana begitu sampai rumah, langsung ke halaman belakang dan duduk di atas batu untuk merenungi kesalahannya. Seperti tadi pagi.

Ayahnya alias Pak Rojali menyusulnya ke halaman belakang. Rojali duduk di bale dan menatap Jani yang tengah memejamkan mata. Helaan nafas terdengar dari Rojali.

“Ayah nggak pernah mengajarkan kamu ilmu beladiri untuk melukai orang lain.” Sesi ceramah ayahnya dimulai.

“Aku nggak berniat untuk menyakiti mereka.”

“Tapi kamu melukai mereka semua,” kata Rojali mengingat para korban tadi. Sudah diurus oleh anak buahnya dan meminta warga lain untuk tidak membicarakannya, apalagi sampai terdengar ke telinga Pak Bambang.

“Mereka yang mulai duluan,” jawab Jani tak terima dirinya disalahkan.

“Orang nggak peduli siapa yang mulai duluan. Orang lebih peduli betapa bengisnya kamu menghabisi mereka semua.”

Anjani mendelikkan mata tak suka. Ia tidak sekejam itu sampai mereka merenggut nyawa. Hanya luka-luka yang tidak tahu serius atau enggak.

“Semedi tadi pagi nggak berpengaruh sedikit pun ke kamu?” tanya ayahnya mengingatkan Jani tentang hukuman tadi pagi.

“Ngaruh.”

“Kenapa masih begitu juga?” tanya Rojali yang mulai habis kesabarannya.

Lama diterpa keheningan, ibunya menginterupsi mereka berdua. “Udah ah, berantem mulu ayah sama anak.”

Ibunya memegang tangan Jani dan memandang ayahnya. “Nggak usah dihukum lagi, Ibu mau ajak Jani ke arisan Mata Air,” kata ibunya bak titah baginda ratu.

Anjani langsung menggelengkan kepala ke arah ayahnya. Meminta pertolongan darinya untuk tidak mengizinkan ibu membawa Jani pergi.

Rojali tahu perkataan istrinya merupakan perintah yang tak bisa dilanggar. Ia hanya bisa tersenyum senang. Biar tahu rasa Anjani pergi bersama ibunya.

“Silakan bawa putri tercinta kamu, yang lama perginya sekalian,” kata Rojali dengan jenaka.

Anjani hanya bisa pasrah melihat ibunya begitu semangat menyeretnya ke dalam rumah. Tentu saja ia akan disulap menjadi tuan putri.

Menyesal ia langsung pulang ke rumah kalau tahu ibunya ada agenda arisan. Ia lebih baik dihukum seharian untuk semedi di batu dibanding harus ikut ibunya pergi arisan sosialita.

****

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang