7: Tabrakan

7 1 1
                                    

Anjani ini sobat kuy. Begitu diajak oleh sahabatnya untuk makan siang bareng, ia langsung bersiap menuju ke tempat janjian. Dari jam 11 ia sudah dandan untuk pergi ke salah satu stasiun TV di Jakarta Barat. Amel memang bekerja sebagai asisten produser di sana.

Blouse bermotif floral dan celana jeans biru dikenakan Anjani siang ini. Tadinya ia mau mengenakan floral dress, namun mengingat ia akan mengendarai motor, lebih baik mengenakan jeans agar tidak ribet.

Tiba di depan gedung, Jani menghubungi Amel untuk menjemputnya. Lokasi makan siang mereka di kantin kantor dan ia tidak tahu letaknya dimana. Melihat beberapa pekerja kantoran yang keluar untuk mencari makan siang, membawa Anjani pada kenangan beberapa tahun silam.

Ia pernah menjadi pegawai kantoran juga, namun tidak lama. Karena terdapat suatu kejadian yang membuat Jani memutuskan tidak mau kerja di kantor lagi.
“Oy! Ngelamun bae,” ujar Amel sambil menepuk pundaknya.

Jani kembali dari lamunannya dan merengut sebal tatkala mendapati Amel mengejutkan dirinya. “Emang nggak ada akhlak lo, Mel!”

“Sorry, ya, makan di kantin kantor. Gue lagi ada kerjaan. Lebih tepatnya lagi dikerjain,” sungut Amel sambil berjalan menuju kantin.

“Kenapa?” Hanya dengan satu pertanyaan, dimulailah ocehan Amel dari A sampai Z terkait harinya dari pagi.

“Mentang-mentang artis papan atas, nggak profesional banget. Janjian jam berapa sama kru produksi, datengnya jam berapa. Mengganggu jadwal ke sananya tau nggak! Berantakan kerjaan semuanya.” Ya, intinya begitulah ocehan Amel di siang ini.

Jani menyantap sup tahu yang menjadi menu andalan kantin kantor hari ini. Ia memang kesini buat dengerin ocehannya Amel saja, sekalian nostalgia kerja kantoran.

“Lo tahu kabar terbaru dari grup angkatan? Si Narendra udah di Indonesia lagi. Gila ye, taipan satu itu lagi jadi hot topic di kalangan alumni,” ucap Amel mengingat perbincangan di grup angkatan 2014.

Amel terus saja membicarakan Narendra tanpa mempedulikan reaksi Jani yang mematung dari tadi. Jani menghentikan makannya dan mengedarkan pandangan ke lain hal. Ia tidak suka Narendra dibahas lagi di hadapannya.

Amel telah kembali ke kantornya dan kantin perlahan berkurang kepadatannya. Jani tenggelam dalam memori masa itu, dimana salah satu kenangan terburuk dalam hidupnya. Ia benci Narendra seumur hidupnya.

Jani berjalan dengan lunglai, keluar dari kantin menuju parkiran motor. Karena tak memperhatikan jalan, ia malah menabrak seseorang dan menumpahkan kopi ke pakaian lelaki jangkung di hadapannya.
Jani dengan refleks mengeluarkan tisu dan membersihkan minuman tersebut dari pakaian lelaki di hadapannya. “Maaf, maaf. Saya nggak sengaja,” kata Jani sambil terus membersihkan tumpahan kopi pada pakaian tersebut.

Nodanya tak bisa hilang. Tapi kopinya sudah kering. “Pasti panas, ya? Lo mau gue bawa ke rumah sakit? Takutnya badan lo melepuh kena air panas,” ujar Jani menawarkan lelaki tersebut.

“Nggak usah, Mbak. Saya masih ada kerjaan lagi. Saya terima maafnya,” balas lelaki tersebut dengan lembut, tak menunjukkan kekesalan sedikit pun. Anjani jadi sungkan.

“Ini kartu nama saya, jikalau anda ingin meminta tanggung jawab atas insiden ini. Maaf sekali lagi,” kata Jani dan berlalu pergi dari hadapan lelaki tersebut.

Suntuk tak ada tujuan, Jani melajukan motornya ke arah Kebayoran. Ia mau ke Blok M. Makan gultik di sana. Ada gultik langganan Jani yang buka dari siang, tepat di seberang family mart Melawai.

Jani mau melupakan sejenak fakta bahwa cecunguk satu itu udah di Jakarta. Anjani yang dipastikan tengah auto pilot mengendarai motornya, tak menyadari bahwa di depannya ada mobil melaju kencang. Jalanan daerah Prapanca memang minim lampu merah dan terbilang sepi, sehingga di setiap perempatan banyak pengendara yang melaju kencang.

Tak sempat menghentikan motornya, tabrakan tak terhindari. Kesadaran Jani kembali tatkala tubuh dan motornya terseret agak jauh. Tak lama kemudian kesadarannya hilang. Mekanisme tubuh manusia memang hebat. Untuk melindungi dari rasa sakit dan terkejut luar biasa, tubuhnya dibuat pingsan begitu saja. Jani tak tahu kejadian selanjutnya menginngat ia sudah masuk dalam pekat.

***

“Iya, Bang. Gue lagi on the way ke studio. Sorry lupa waktu,” kata lelaki tersebut yang tengah diomeli di seberang sana.

“Siap-siap. Ntar lewat tol biar cepat sampai. Okey,” katanya yang fokus ke ponsel dan tak melihat arah depan.

Christian terkejut bukan main melihat sepeda motor di hadapannya melaju ke arahnya. Ia menarik pedal rem untuk menghindari tabrakan, namun naas motor dan pengendaranya tak melakukan hal yang sama sehingga tabrakan tak terelakkan.

Tian yang tengah dikejar waktu bingung harus melakukan yang mana dulu. Menyelamatkan pengendara motor atau melanjutkan perjalanan ke studio TV tempatnya akan shooting. Orang di sekitar mulai ramai, Tian sigap memanggil ambulans. Ia tidak mau digruduk masa. Lebih baik beritikad baik menyelamatkan pengendara tersebut.

Tujuh menit kemudian, ambulans yang dipanggil Tian datang dan membawa pengendara tersebut yang ternyata seorang wanita. Tian mengikuti ambulans dari belakang. Rumah sakit Brawijaya tujuannya.

“Wali pasien?” tanya seorang suster begitu Tian berdiri dekat UGD.

“Bukan. Saya terlibat juga.” Tian bingung bilang dirinya siapa, pelaku bukan, korban juga bukan.

“Pasien harus melakukan tes lanjutan seperti MRI dan lainnya.” Suster tadi menjelaskan beberapa tes yang harus dilakukan. Intinya mereka butuh orang yang akan menanggung biayanya.

“Lakukan saja, Sust. Biaya biar saya yang tanggung.”

Suster tadi memberikan beberapa kertas sebagai pernyataan bahwa Tian akan menjadi penanggung jawab sementara. Tian menandatangani berkas-berkas tersebut.

“Saya minta tolong untuk buka kunci ponsel pasien untuk menghubungi keluarganya,” pinta Tian yang langsung dilakukan.

Membuka riwayat panggilan, terakhir dihubungi kontak dengan nama ‘Ayah’ yang Tian yakini sebagai ayahnya pasien. Belum sempat menghubungi, ponselnya sudah heboh bergetar tiada henti.

“Gue di Brawijaya, kecelakaan,” kata Tian singkat dan panggilannya berubah menjadi panggilan video.

“Aman, guys. Gue nggak luka, tapi ada korban, jadi lagi menemani.”

“Minta perwakilan perusahaan aja untuk menyelesaikan. Kamu langsung otw ke sini,” kata Delfi selaku manajer grupnya.

Tian menggeleng tak setuju. “Aku nggak mau lari dari tanggung jawab.”

“Nggak ada yang nyuruh kamu lari, Yan. Nanti kita balik lagi untuk nengok. Jadwalnya nggak bisa dibatalin,” jelas Delfi yang membuat Tian gamang.

Let me think first!” Menutup panggilan begitu saja. Ia menghubungi seseorang yang terlintas di benak.

“Ria, maaf ganggu waktunya. Mau minta tolong gantiin aku jagain orang di rumah sakit Brawijaya. Aku harus berangkat shooting sekarang,” kata Tian langsung pada intinya.

“Makasih banyak, Ri.”

***

Something in Rawa Village Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang