08: Selamat Tinggal

328 78 8
                                    

Malam yang temaram sebab rembulan sedikit tertutup oleh mendungnya langit. Langkah kaki si gadis jangkung membawanya kembali memasuki rumah pudar warna miliknya. Tatkala lampu dihidupkan, dapat terlihat dengan jelas melalui kedua manik indahnya, di sana, tak beraturan barang-barang yang ada.

Mala menggeser beberapa barang yang menghalangi kaki jenjangnya melangkah, ia lantas menutup indera penciumannya kala aroma tak sedap menyeruak masuk dengan bebas.

Sekon berikutnya ia ingat──

"Hasya,"panggilnya dari arah ruang tamu menuju kamarnya.

Tak ada sahutan membuat dirinya merasa tak enak pikiran dan perasaan, Mala lantas membuka pintu itu dengan perlahan.

Cukup sulit, dirasa ada sesuatu yang menghalang.

"Hasya," ia menyerukan nama itu sekali lagi. Meski hanya heningnya malam yang menjawab.

Tangan sebelah kanannya meraba saku celana, mencari benda persegi panjang yang ia butuhkan saat ini.

Tut tut tut

Beberapa saat Mala menunggu, sampai suara lain mengejutkannya.

"Lah? ini hp nya Hasya," ucapnya kala mendapati benda itu berada di atas meja makan.

Perasaan resah semakin membuncah, sekarang yang boleh dituju Mala cuma satu, kamarnya yang pintunya sulit dibuka tadi.

"Hasya? Kamu di dalam atau gak?" Ia mencoba bertanya meski tak terdengar suara apa-apa.

"Euunggh," suara lenguhan akhirnya membuat Mala tanpa ancang-ancang lagi telah mendorong pintu kamarnya. Akhirnya, ia mendapat sedikit celah untuk masuk.

"Hasya kamu──," pertanyaannya harus tergantung bersama dengan dirinya yang seolah-olah telah dibuat tergantung pula.

Alangkah terkejut raga satu ini, kala mendapati gadis berponi itu tengah terduduk bersandar di dinding. Kedua pergelangan bajunya basah oleh banyaknya darah, pun dengan lantai.

Mala dengan segeralah berlari menghampirinya, mencoba memastikan jika gadis itu masih, masih hidup.

Punggung yang sebenarnya tak setegar itu, berusaha menggendong raga lain yang tengah bertarung di antara garis hidup dan matinya.

Dengan langkah tertatih-tatih ia mencoba keluar kamar meski harus membuang masa sebentar untuk membuka pintu yang ternyata diganjal dengan nakas.

"Hasya sabar ya," tuturnya dengan nada bergetar, tak siap bilah gadis ini mendahuluinya.

Mala itu tak punya apa-apa, beberapa kali bibir pucatnya berteriak mencoba mencari bantuan. Namun sayang, sepertinya orang-orang yang tinggal di sini telah tidur, mengingat hari yang juga sudah larut.

Mustahil dirasa, ia pula harus rela membawa Hasya dengan menggunakan motornya. Tubuh Hasya yang telah lemas, ia berikan sebuah kain untuk menyatukan antara dirinya dan diri Hasya. Agar gadis itu tak terjatuh nantinya.

Dengan bibir bergetar dan air mata yang perlahan-lahan telah menderas terjunnya, Mala tetap berusaha kuat. Kuat untuk membawa kendaraan beroda dua ini dengan lebih cepat.

Ia coba hapus bulir bening itu, agar pandangannya tak memburam.

Tak ada suara apa-apa di belakang sana, berhasil membuat Mala harus mengucapkan ribuan kata permohonan pada yang di atas sana. Menyemogakan gadis di belakangnya ini untuk tetap hidup, sama seperti dirinya.

"Ma.....la," lirih Hasya dengan menggenggam lemas pada pinggang baju milik Mala yang perlahan mulai menampakkan bercak merah akibatnya.

Yang dipanggil sontak terkejut, air matanya lagi-lagi turun untuk membasahi pipinya.

Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang