04: Ibunda, Ibu

378 80 2
                                    

Sebab waktu boleh melekang, melebur dalam sebuah kenangan. Dari balik pintu yang sama, ia tahu jawabnya.

Ibunda bagi Mala, seorang dewi berwujud sama dengan dirinya. Meski tahun demi tahun tak ia lalui bersama yang dikasihi, namun tanah saja tahu untuk siapa Mala bersimpuh, memohon agar rindu terbayar kontan.

Ruangan dingin adalah saksi yang membisu, mendengar semua jeritan tiap kali kaki mungilnya menapak pada ubin yang tak kalah dingin. Lalu ia menggigil, sebab tak ada daksa lain yang boleh merengkuh dikala ia merasa tak utuh.

Raga dingin, mata memanas, tangis tanpa suara itu telah biasa.

"Bunda kapan pulang lagi ke rumah?"

Wanita paruh baya itu terbuka matanya secara perlahan, "besok ya?"

Ulang lah terus kata yang sama, namun Mala bukan lagi gadis mungil yang akan terkecoh selalu seperti dahulu.

"Tapi, bunda selalu bilang gitu..."

Hening sejenak, getar menghinggapi seluruh daripada relung hati. Merasa tak kuasa, itulah jawabnya.

Bukan satu atau dua hari, namun telah bertahun-tahun sang ibunda terbaring pada ranjang yang sama, ruang yang sama pula.

Diwajarkan bila gadis ini tak kokoh seperti dahulu, "kalau aku gak punya ayah, setidaknya aku punya bunda..."

Punggung tangan itu kini disentuh oleh tangan dingin berhiaskan infus, "begitu cara menyampaikan rasa rindu?" Lirih sang ibunda.

Wajah yang memang nampak nian tak berseri itu kini tertunduk lesu, sesak itu kini kembali hinggap.

"Sudah menjadi takdir Tuhan dek, ambil hikmahnya."

Tangisnya kini melebur dan bercampur dengan lolongan suara tangisan alam.

Takdir? Perihal takdir, mengapa hanya pada dirinyalah semua duka mampir?

"Bunda harus sembuh ya? Aku kangen kita kumpul lagi seperti dulu, aku gak punya siapa-siapa selain bunda..." Mohon Mala dengan suara yang bergetar.

Setiap kali ia jenguk ibundanya, tak pernah sekalipun Mala menunjukkan tangisnya. Dan kini, semua memang tak tertahan lagi.

Genggaman erat yang paling hangat, membuat hati sosok Mala Hanggini juga turut menghangat.

"Kita, bukan cuma bunda. Kita berjuang bersama-sama, ya dek?"

Anggukan lemas menjadi sebuah jawab dari Mala, tak ada yang boleh ia lakukan kecuali memilih pasrah.

• • •

Hasya mengusap sedikit kasar pada bulir bening yang baru saja menetes dari netranya.

Bentakan demi bentakan yang mengudara pagi tadi berhasil membuatnya hancur.

Akibat dari semua rasa sakitnya, ia tampaknya berniat untuk melangkah pergi dari kediaman megah ini.

"Kak,"

Hasya berbalik dengan cepat kala menyadari panggilan lirih tadi untuknya.

"Hmm, iya, kenapa dek?"

Dengan langkah kecilnya gadis mungil berusia 7 tahun itu masuk ke dalam kamar milik sang kakak. Ia lantas memberikan selembar kertas lama yang terlipat.

"Dari papa, untuk kakak," ucap gadis mungil ini dengan polosnya.

Seulas senyum dan tepukan pelan pada kepala sang adik ia berikan.
Hasya membuka kertas yang nampak seperti sebuah surat itu.

Ia lantas membaca secara perlahan-lahan tiap kata yang tergurat di sana.

Ia lantas membaca secara perlahan-lahan tiap kata yang tergurat di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang