Epilog

704 91 26
                                        

Mala pov

Pantai benar-benar tak seindah dulu. Deru ombak terdengar seperti lolongan yang menyedihkan, dersik miliknya entah mengapa tak menyejukkan lagi, malah terasa menusuk sampai ke tulang.

Setiap pijak yang terhapus kala ombak menyapa mata kakiku, setiap saat itu pula potongan memori tentang kamu menyatu.

Air mata sudah lelah berjatuhan, hingga kini satu bulan ku menanti, keberadaan Hasya tetap tak juga menemui kata pasti.

Hasya Arunika, sang pemilik mata senja. Padahal arti dari nama Arunika itu adalah cahaya matahari pagi, tapi entah kenapa aku malah menyebut ia si pemilik mata senja. Bukan tanpa alasan, semua dikarenakan warna matanya yang begitu indah, sampai saat ku melihat senja, keindahan alam tak ada apa-apanya dibandingkan semua keindahan yang tampaknya sudah menyatu pada kedua manik itu.

Kembali ku lalui pantai yang sama menuju tempat ku bekerja. Setelah hari itu, aku sepakat pada diri sendiri jika aku tak akan lagi menginjakkan kaki ku pada pasir putih nan halus itu.






"Selamat pagi Mala, senyum paginya mana?"

Aku kontan tersenyum kala mendapat pertanyaan barusan dari Dania. Gadis ini tak henti-hentinya memberiku semangat ketika kamu sudah tak ada lagi Sya.

Aku melangkah menuju posisi seharusnya, setiap pagi rasanya masih sama Sya, masih hambar.

Dari ambang pintu terlihat dua gadis remaja yang baru saja memasuki toko roti ini, membuat ku dengan segera merapikan diri.

"Selamat pagi, mau pesan apa?" Sambutku dengan ramah.

Kedua gadis itu saling melempar pandang dengan sebuah kode-kode yang tentu aku tak ketahui maksudnya.

"There's something to buy?" Aku bertanya kembali, kali ini dengan bahasa yang berbeda.

Namun dua orang ini masih sibuk menatap satu sama lain, hingga aku rasanya seperti tak dianggap ada.

"Dania sini dulu," aku memanggil Dania dengan sedikit berbisik.

Lantas dengan segera aku menyuruh Dania untuk bertanya dengan bahasa lainnya, mengingat mungkin saja dua orang ini berasal dari negara lain.

"Maaari ba kitang matulungan? may gusto ka bang bilhin?"

Tapi tentu mereka belum menjawab, malah dua orang ini mulai menggerakkan tangan mereka. Berdebat dengan bahasa yang berbeda. Aku menepuk pelan keningku, aku tak mengerti bahasa isyarat! Andai saja ada Hasya di sini.

Dania tak berhenti, malah menggerakkan tangan dan membuka mulutnya untuk memperjelas ucapannya, "TU LIS DI SI NI APA YANG KA LI AN MAU!" titahnya dengan susah payah, berusaha agar dua orang ini mengerti.

"Kami mau croissant," potong salah seorang gadis dengan cepat.

Aku dan Dania terdiam, lalu melirik satu sama lain secara perlahan. Sungguh sia-sia semua usaha tadi, ternyata mereka bisa berbicara.

"Apa kurang jelas? Kamu mau croissant," ulang dia kembali.

Dania tersenyum paksa, sebenarnya ini sangat lucu untuk dilihat jika kamu ada di sini Hasya.

"Sangat JELAS," balas Dania dengan penuh penekanan di akhir kata yang dia ucapkan.

Aku terkikik geli, lantas memberi semangat agar Dania bisa lebih bersabar lagi.

Sementara dua orang tadi masih menunggu, ku perhatikan gerak-gerik mereka. Bahasa itu, masih tak juga terhenti. Sepertinya aku tahu, salah satu diantara keduanya pastilah yang tak bisa berkomunikasi seperti orang pada umumnya.

Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang