03: Hima

389 89 8
                                    

Selaksa waktu beriring, samar-samar terdengar suara kaki seseorang.

Selepas pulangnya Khana, Hasya belum jua memejamkan mata barang satu sekon pun. Entahlah, di shyam ini ia ingin menikmati sarayu dahulu sebelum masuk ke dalam alam bawah sadar, memandang eloknya rembulan nan jauh di mata.

Hasya bergidik mendengar suara ketukan pada pintu berwarna coklat itu, namun seluruhnya pudar kala terdengar rengekan kecil.

"Hima?" Tanya Hasya memastikan.

Rengekan itu tak jua henti, malah semakin menjadi, dan kini pegari terdengar telah menjadi sebuah tangisan.

Secepat kilat dirinya membuka pintu, kemudian merengkuh tubuh mungil yang dingin ini.

"Hima kenapa?" Hasya bertanya dengan suaranya yang mendayu-dayu, benar sayang dirinya pada gadis mungil ini, sampai berkata pula ia tak ingin sampai meninggikan suara.

"Takuut..."

Dirinya coba berikan sentuhan terbaik pada belakang kepala Hima, tirta dari Hima benar mencubit hatinya.

"Kenapa? Takut apa?"

Gadis mungil bernama Hima ini tak menjawab untuk beberapa saat, masih sibuk dirinya menenggelamkan wajah pada ceruk leher seonggok daging yang tengah mendekapnya.

"Mama papa mana?"

Hasya ingat, orangtuanya pergi beberapa jam yang lalu, semasa itu Hima memang tengah tertidur pulas.

"Mama papa tadi keluar sebentar katanya, Hima mau tidur sama kakak saja?"

Gelengan kecil ia dapatkan, tentu sang adik masih berada dalam peluknya. "Hima lapar?" Tanya Hasya kembali.

Sama seperti semula, sang adik masih menjawab tanpa suara, bahwa pertanyaan dari Hasya tak sesuai inginnya.

"Lalu Hima mau apa?"

Gadis mungil itu mengetuk-ngetuk sedikit pada hasta kakaknya, "mau nunggu mama papa pulang..." Lirihnya dengan suara parau.

Hasya melonggarkan dekap, ia coba hapus tirta yang masih membekas pada wajah kemerahan milik adiknya. Sekon berikutnya, dirinya mendongak untuk melihat satuan waktu, pukul sembilan malam, tak mungkin dirinya boleh membawa gadis mungil ini kemana-mana.

"Nunggu di ruang tamu ya? Sambil nonton kartun lewat laptop kakak, mau?"

Hima menggeleng, rengeknya mengalun kembali. Bimbang sudah Hasya, "terus, adek maunya apa?"

"Tunggu di taman depan rumah..."

Terkejut sejenak dirinya, mana lah boleh ia membawa gadis kecil ini keluar, sebab sarayu pada malam hari tak baik untuk daksa kecil.

"Jangan ya? Nanti masuk angin, kakak juga yang dimarahi papa sama mama nanti,"

Namun Hima mana peduli, selayaknya anak kecil pada umumnya, bila saja inginnya tak dikabulkan, maka tangis kembali datang.

Hasya coba menimbang-nimbang, sampai akhirnya ia putuskan untuk menyetujui kemauan sang adik.

"Oke-oke kita tunggu di taman, jangan nangis lagi ya?"

Jelas tergurat kurva yang tertarik keatas, sang adik rupanya nampak begitu senang kini. Lega akhirnya, Hasya coba angkat gadis mungil ini agar boleh ia gendong.

Menuruni tangga dengan hati-hati, sementara sang adik dengan hati riang bukan main.

"Oke, mau duduk di kursi?" Hasya bertanya untuk memastikan.

Hima membalas dengan anggukan, maka dengan segeralah dirinya turunkan daksa mungil ini.

Benar dikata Hasya, sarayu malam ini berhembus kurang sopan. Dirinya saja kedinginan, apalagi sang adik.

Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang