09: Pengutaraan Rasa

347 83 1
                                    

"Jangan pernah pergi dari hidup aku ya Hasya?"

Yang lebih muda mengernyit, menampakkan ribuan tanya hanya melalui sorot mata.

"Ya pokoknya jangan pergi aja," terang Mala yang kini telah mengurai dekap singkat keduanya.

Ia lantas duduk pada kursi meja makan, memainkan jari-jemari di atas meja hingga membentuk pola abstrak. Tatapannya sendu, helaan kecil pula terdengar.

"Gak usah ke mana-mana ya Sya? Gak usah pindah, di sini aja──, sama aku."

Hasya yang telah selesai aksi memasaknya, datang dengan dua piring di tangannya. "Kenapa gitu? Aku orang asing loh," tanyanya.

"Kalau gitu──, ayo berhenti jadi orang asing," jawabnya pasti tanpa sedikit keraguan.

Manik keduanya bertemu, kelopak mata yang menutup secara lambat, rasa aneh yang membuncah.

Hasya yang pertama memutus kontak mata, ia lantas memilih meminum air putih di gelas miliknya. "Maksudnya?" Tanyanya akhirnya.

"Emm──, enggak. Ayo makan," jawab singkat nan penuh kecurigaan dari Mala.

Namun Hasya memilih bungkam, lantas memakan sarapannya dengan atmosfer yang terasa berbeda.

• • •

"Kamu gak punya kakak ya? Yah, kasihan sendirian," ejek salah satu gadis kecil sebaya Hima.

Hima merengut, "aku punya kak Hasya," belanya untuk dirinya sendiri pula.

"Kalau gitu kenapa dia gak ada sekarang?"

Hima, ia terdiam. Ingin mencari jawaban, namun mustahil didapatkan. Kaki kecil itu lantas pergi, menjauh dari segala hal yang dapat membuatnya sakit hati.

Di sini, di depan gerbang sekolah, daksa mungil ini merenung. Mengingat-ingat apa salah dirinya, sampai sang kakak pergi entah ke mana.

Bulir bening perlahan turun, tangisan khas anak kecil telah terdengar. Membuat dua orang yang lebih tua datang, lantas merengkuh penuh haru.

"Kak Hasya," lirihnya dengan iringan nada suara yang parau.

Hasya mengangguk, lantas mengusap air mata yang turun dari celah bola mata indah milik adiknya. "Iya, ini kakak," jawabnya.

Hima memeluk bebas kembali seseorang yang sangat ia nanti, meskipun masih se-dini ini, ia tahu betul rasanya sepi.

Mala tersenyum kecil menatap Hasya, sama seperti gadis berponi itu, ia pula tengah berjongkong untuk menyesuaikan tinggi keduanya dengan raga mungil di depannya.

"Kangen kakak," kata Hima yang sedikit teredam karena tengah didekap hangat oleh Hasya.

Hasya sebetulnya juga tak kuasa menahan tangisnya, namun ia harus lebih tegar daripada adiknya. Telapak tangannya dibawa untuk mengelus sayang pada kepala sang adik, ia lantas memberi kecupan yang cukup lama pada pucuk kepala Hima.

"Ikut kakak dulu, mau gak? Nanti kakak anter pulang kok," bujuknya yang sedikit berbisik pada adiknya.

Wajah mungil dengan manik penuh binar kebahagiaan itu mendongak, "mauuu," jawabnya dengan gemas.

Hasya dan Mala, keduanya kompak terkekeh gemas.

• • •

Kalau dikata, tangisan alam lebih meraung-raung daripada tangisan insan di dalamnya sendiri. Petir dan guruh bersatu, hingga tak jarang membuat orang lain merasa takut.

Sedianya harus mengucap syukur, dikarenakan hujan pada siang menuju sore hari ini tak memperdengarkan suara-suara yang mengusik. Meski pertemuan antara ribuan tetesan hujan dengan atap di atas sana berhasil membuat nada berisik lainnya, setidaknya dingin ini menenangkan.

Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang