02: Titipan Salam

428 97 1
                                    

Sudah dikatakan kerja itu kebiasaannya. Tak ada yang berbeda, hari demi hari menatap roti-roti yang terpampang, duduk hanya bila sepi pelanggan.

"Mbak Mala,"

Baru dua kali jumpa mengapa telah hafal suara?

"Iya, Hasya kan?"

Mengangguk lah manusia di depannya kini.

"Mbak saya mau roti rasa mocca ya, ya-"

"Yang ini," ucap keduanya secara bersamaan.

Hasya bersemu malu, peduli apa tentang hal yang ada di pikiran Mala saat ini, yang penting ia bahagia manakala menyadari Mala mengingat sesuatu yang begitu kecil dari hidupnya.

"Totalnya 24.500, tapi sama kamu 20 ribu saja."

"Hah?" Hasya berusaha pastikan untaian kata yang terucap tadi tak salah tangkap.

"Atau mau dibulatkan jadi 25 ribu saja biar enak mengembalikan uangnya?"

"25 ribu saja," jawabnya pasti tanpa tapi.

"20 ribu saja lah, lumayan 5 ribu lagi bisa buat beli es cekek."

Suarakan saja dinda bahwa dirimu tengah berusaha menggoda sang nona. Dan telah dikatakan pula bahwa Hasya bukanlah orang yang mudah menolak, "oke deh kalau gitu."

Ia serahkan selembar uang senilai 20 ribu itu, tentu dengan ribuan rasa segan.

"Makasih ya mbak,"

Hasya memutar tubuh, namun sebelum itu.

"Berikan salam untuk Khana."

Berbalik kembali menatap seorang nona di depannya, Hasya pula menjawab, "oke, disampaikan."

"Luar biasa Mala, aku terpana kamu, tapi kamu malah terpikat pesona temanku."

• • •

Ia memang berpendapat bahwa alam itu luar biasa, indah, dan surga yang kini terpampang nyata. Mahakarya tuhan yang sempurna namun kerap diusik oleh mahakarya tuhan yang lainnya, manusia.

Mengarungi hari-hari sebagai mahasiswa fakultas kehutanan, telah ia terima ratusan mungkin ribuan pendapat tak menyenangkan. Kesampingkan dulu dari orang luar, dari dalam sebuah hubungan yang disebut "keluarga" saja sudah sering ia dapatkan.

"Sampai kapan mau terus-terusan jadi mahasiswa kehutanan, hari-hari ngecek tanah dan pepohonan, apa gak malu kamu?"

Hasya coba tarik nafasnya dalam, berkali-kali ia harus menjadi sosok yang derana, sesungguhnya ia juga lelah.

"Pa, ma, itu semua kan sudah jadi keputusan Hasya. Lagipula apa salahnya sih?"

Meski tahu ia akan menjadi yang paling terpojok, bersuara tetaplah menjadi pilihannya.

Laki-laki dengan tuxedo hitam itu berdiri, "kita sudah bahas ini berkali-kali. Kami MALU! apa mau dikata orang di luar sana, papa pengusaha, mama kamu juga tak ubahnya. Kamu? Masuk kehutanan bisa jadi apa?"

Entah apa maksud dunia, hina kah? Jenggala dan ayarnya merupakan suatu perpaduan yang begitu lengkap, hirup saja segarnya rimba, ia bahagia. Maka tak masalah jika itu membuat ia senang, mengapa pula orang lain harus sibuk mengaturnya.

"Pa, ma, pilihan ku sendiri juga bukan berarti pilihan yang buruk kan? Yang akan melalui semua itu kan aku, jadi aku bebas menentukan sendiri inginku."

"Tapi tidak ada masa depan di sana!"

Memilih fakultas kehutanan bukan berarti ia benar akan tersesat dalam jenggala hitam kehidupan, entah apa yang tercerna dalam isi kepala dua manusia yang ia panggil orang tua, Hasya hanya boleh menjawab dalam diam.

Untuk Hasya | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang