BAB 4: Lamaran Sinting! (Republish)

8.5K 1.2K 120
                                    

PERHATIAN!
Cerita sudah lengkap di KaryaKarsa @ Junieloo

Happy reading!

Esoknya, kemunculan Adi kembali membuat Anita bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Esoknya, kemunculan Adi kembali membuat Anita bingung. Terlebih, saat lelaki itu datang di saat Abi sedang tidak berada di ruangannya.

"Siang, Pak Adi. Mohon maaf sebelumnya, Pak Abinya sedang—"

"I believe this belongs to you."

Anita sempat kebingungan. Namun, begitu Adi mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya dan meletakkannya di meja perempuan itu, Anita lantas tertegun. "Lho, kok bisa ada di Pak Adi?" tanyanya, bergegas meraih cincin dalam plastik kecil yang kemarin memang sempat jatuh dari tangannya.

Adi mengangkat bahunya yang bidang meski tampak turun berkat otot di pundaknya. "Saya nemuin itu pas mau balik dan kebetulan kamu lagi nggak ada di meja."

Anita manggut-manggut. Benar, kemarin dirinya memang dihubungi oleh Abi untuk menyampaikan pesan ke bagian finance, mewakili lelaki itu sementara di ruangan bos besar masih ada tamu. Siapa lagi kalau bukan abangnya sendiri? Jadilah, Anita yang turun tangan. Dan mungkin, tanpa sengaja dirinya menendang benda itu lebih jauh hingga ditemukan oleh Adi. "Oh. Terima kasih kalau begitu, Pak."

"Sepertinya benda itu nggak penting lagi buat kamu sampai-sampai reaksi kamu biasa aja," tebak Adi, seraya menenggelamkan kedua tangannya di saku celana. Menurutnya, Anita harusnya protes karena dirinya telah membawa pulang barang seseorang tanpa izin alih-alih mengembalikannya langsung ke meja sang empunya.

Melihat senyum manis terbit di wajah Anita, Adi pun mengerutkan kening. "Saya berniat jual cincin ini, Pak."

"Itu cincin pernikahan, kan? Kamu selalu pakai dulu."

"Betul, Pak." Senyum Anita melebar hingga menampilkan rentetan giginya yang rapi. Tidak heran jika Adi mengingatnya karena Anita tidak pernah sehari pun melepas benda tersebut dari jari manisnya. "Pak Adi mau beli? Saya jual berapa pun! Saya belum ada waktu ke toko emas."

Adi benar-benar terkejut mendengarnya. "Kamu masih waras, Anita?"

"Justru, saya yang sinting kalau masih nyimpan benda ini."

"Kamu sudah cerai?" tanya Adi, tanpa basa-basi.

Bukannya tersinggung, Anita justru tampak antusias dalam menjawab, "Betul! 100 buat Pak Adi!" Kemudian perempuan itu terkekeh geli.

Adi sanggup dibuat tak mengerti dengan reaksi Anita. Rasanya, ia ingin pergi dari sana sekarang juga karena keanehan mantan sekretarisnya tersebut. Hanya saja, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya yang ternyata tidak kalah gilanya.

Usai mengamati sosok Anita terlebih dulu, meski tidak dari ujung kepala sampai ujung kaki—mengingat pandangannya terhalang oleh meja di antara mereka, Adi pun berdeham dan memberanikan diri bertanya...

Marriage First, Love LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang