Jayden berlari dengan tergesa-gesa ketika angkot yang melaju kearah rumahnya sudah pergi menjauh. Sekarang, bagaimana caranya dia untuk pulang? Uang saku nya hanya cukup untuk pulang pergi menggunakan angkot. Jika dia harus menggunakan ojek online, uang nya tidak cukup.
Andai saja Gibran dan Gun tidak menghadangnya dan membuat luka baru pada wajahnya, mungkin sekarang dia tak akan kehilangan angkot terakhirnya. Dan andai saja kedua orang itu tak mengambil uang simpanan nya, sudah pasti Jayden sudah pulang menggunakan ojek online.
Maka disini lah Jayden berdiri seorang diri dan harus pergi berjalan berkilo-kilo meter untuk sampai ke rumah. Memang mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain.
Jayden menyusuri jalan seorang diri, badannya lemas bukan main. Dan lagi, mau bagaimana lagi? Jayden sangat ingin cepat pulang, tapi dirinya tak punya uang.
Dia merogoh saku sekolahnya, dia berkomat-kamit dalam hati agar sang kembaran sudi untuk menumpangi nya, dia benar-benar lemas dan tak kuat untuk berjalan.
-X-
Bunyi deringan ponsel mengalihkan perhatian sekelompok laki-laki yang tengah bergurau ria. Posisi mereka kini berada diwarung yang tak jauh dari lokasi sekolah.
"Den ada telpon nih" seru lelaki yang sedang sibuk dengan ponselnya teralihkan ketika salah satu ponsel temannya berdering telepon masuk.
"Dari siapa?" Lelaki yang baru saja kembali dari dalam warung untuk membeli beberapa camilan untuk ia dan teman-temannya nikmati itu bertanya.
"Entah, nomor ga dikenal" Hayden langsung saja melirik layar ponselnya, kemudian meninggalkan benda pipih itu tanpa berniat mengangkat telpon nya sama sekali. Melihat temannya yang santai tanpa berniat untuk mengangkat itu kebingungan. "Ga lo angkat?" tanya nya.
"Nanti gue angkat kalo emang ga berenti, itu paling penipu" ucapnya santai.
"Itu udah mulai nelpon daritadi ege, berisik banget"
"Ck iya, gue angkat dulu"
-X-
"Tuhan, tolong kali ini saja" Mulut nya terus berkomat-kamit berdo'a agar sang kembaran mau menjawab panggilan telponnya. Sudah tiga kali ia menelpon Hayden, namun masih tak ada jawaban.
Doa Jayden langsung dikabul, Hayden menjawab panggilan telpon nya. Belum sempat Jayden mengucapkan sesuatu, Hayden sudah terlebih dahulu berucap.
"Bisa nggak sih sehari aja lo nggak usah ganggu gue. Jadi orang nyusahin banget, enyah lo dari bumi!" Makian Hayden masuk ketelinga Jayden dengan begitu indah bagaikan nyanyian kematian.
Jayden memejamkan matanya, rasa sesak kembali dia rasakan. Tapi dia tak boleh menangis, dia laki-laki jangan sampai kembarannya melihat dia sebagai pria yang lemah. Dengan bibir yang sedikit bergetar, Jayden bersuara. "H - ayden aku-"
"Lama bener buset, gue matiin telpon nya!" ancam Hayden.
"Aden aku mau minta tolong-"
"Kan udah gue duga, lo tuh emang nyusahin!"
Air mata yang sedari tadi Jayden tahan itu jatuh, membasahi pipi tirus penuh lebamnya. Dada nya berdegup cepat, membuatnya semakin sesak. "Tolong sekali ini aja den, aku udah nggak punya uang lagi buat pulang"
"Males!" Tolak Hayden.
"Tolong Hayden, aku bener-bener minta tolong. Dada aku sakit, aku janji nggak akan ngerepotin kamu lagi. Nanti kalo aku ada uang, aku ganti uang bensinnya" mohon Jayden.
Terdengar decakan sebal dari sebrang sana. "Fuck! Lo emang manusia paling nyusahin yang ada di hidup gue" Panggilan langsung terputus sepihak.
Jayden meremas dadanya, kenapa hidupnya begitu menyedihkan? Kapan Hayden bisa bersikap manis seperti saat masa kecil mereka? Hayden, si adik kecilnya yang penuh perhatian, penuh kasih sayang, penuh kelembutan dan yang menjaga nya sepenuh hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
we're same, but different✔
Short Story"Tidak ada yang mengerti aku, aku hanya punya diriku sendiri untuk bertahan hidup. Ayah, kita itu sama. Tolong perlakukan aku dengan baik juga" - Jayden Kusuma.